Dalam perspektif orang awam imajinasi sering diposisikan dalam arti peyoratifnya. Imajinasi lantas disamakan dengan ilusi, khayalan, dan fantas, karena imajinasi mempunyai kecenderungan “menggelayut” dan tidak memberikan arahan real dalam identifikasi pengetahuan. Dengan begitu, imajinasi dinomorduakan dalam perannya sebagai sumber pengetahuan. Orang sering mengajak kita untuk berpikir realistis ketika kita mempunyai gagasan yang muluk-muluk. Allan Loy McGinnis, dalam sebuah buku best seller-nya, The Power of Optimism (1993) mengatakan bahwa anjuran untuk berpikir realistis sebenarnya menyembunyikan kekhawatiran-kekhawatiran tertentu. “Worry is misuse of imagination” (kekhawatiran adalah imajinasi yang disalahgunakan). Kekhawatiran yang berlebihan menimbulkan kecemasan. Soren Kierkegaard berpendapat bahwa kecemasan dapat terjadi akibat sikap yang memandang berlebihan atas bahaya, dan memandang rendah kemampuan kita.
Sekedar untuk membedakan, haruslah diketahui proses pemerolehan pengetahuan melalui imajinasi dengan melalui berpikir linear dan logis. Berpikir merupakan aktifitas penelusuran pengetahuan yang telah dibatasi dengan aturan-aturan atau konsep tertentu yang sifatnya membatasi, bahkan mengikat, misalnya anjuran berpikir lurus melalui hukum-hukum logika Aristotelian—dan adapun cara berpikir yang tidak mematuhi hukum-hukum logika tersebut dikatakan terjatuh dalam “sesat pikir” (the fallacy). Sedang dalam berimajinasi tidak lagi dibutuhan aturan berpikir runtut. Semua konsep kebenaran sementara waktu ditanggalkan dan ditangguhkan (Derrida menyebut proses ini sebagai differance) dan membebaskan pikiran untuk melakukan penelusuran tanpa batas guna mencari insight baru yang kedatangannya sering serentak-mendadak, sehingga pikiran sadar kita tidak dapat melacaknya lagi.
Walhasil, pemahaman tentang peran imajinasi dalam proses pengetahuan membawa banyak hal yang sering tak terduga. Terminologi imajinasi sendiri senantiasa terkait dengan pengertian “imaji”, “citra”, “kesan”. Tatkala Einstein menemukan rumus E=mc2 tidakkah dia mengimajikan variabel-variabel itu dalam pikirannya? Ketika Newton tiba-tiba menyadari teori gravitasinya karena melihat buah apel jatuh ke tanah, tidakkah dia men-citra-kan sesuatu dalam bayangannya? Imajinasi akan “imaji” sesungguhnya yang telah melahirkan kedua teori besar tersebut.
Disadari atau tidak, peran imajinasi begitu besar dalam melahirkan teori-teori agung di bidang ilmu pengetahuan. Ketika para ilmuwan sudah kehabisan ide untuk memecahkan suatu permasalahan—karena logika telah menunjukkan keterbatasan-keterbatasannya, terkadang imajinasi bebas mereka justru yang mempunyai peranan besar dalam pemecahan problem-problem keilmuan. Bahkan Einstein pernah mengatakan, ”imajinasi lebih penting daripada pengetahuan”. Imajinasi bergerak “liar” mencari insight-insight baru—kemudian memberikan petunjuk-petunjuk yang menyegarkan. (Perkuliahan)
Artikel Bahasa
No comments:
Post a Comment