Sambungan Cerpen Wajah yang Menikam bag 1
***
Kujalani hidup sebagai seorang kekasih Ayin, setiap detikku bersamanya. acap kali aku kagum menerawangi kecantikannya, bagaikan sekuntum mawar, yang belum sepenuhnya mekar. Semakin hari semakin harum, semakin hari semakin indah. lalu utuh menjadi seuntai mawar yang memesona untuk selalu kunikmati, menjadikanku sebagai lelaki sejati, tanpa pernah melirik mawar-mawar lain.
Setiap malam tanpa terlewat, kami selalu bersama memandangi bulan di musim purnama. Tak dapat kupahami jika sesingkat waktu, aku telah mencintainya seutuh hatiku, hingga tak pernah terpikirkan olehku untuk pernah jauh darinya, bahkan untuk lebih dari itu.
Tidak dapat kunamakan lagi sebesar apa cintaku, karena hatiku telah tumpah-ruah untuknya. Begitu juga dengannya, dan aku sangat yakin itu, di saat pertama kali dia mempertanyakan kesukaanku padanya.
Sejak tiga hari yang lalu telah kuteguhkan, bahwa dialah kelak yang akan menemani akhir hidupku. Minggu depan kami akan dipersatukan menjadi pasangan suami istri.
Kedua orang tuaku sudah mempersiapakan segala sesuatu untuk meminangnya, malam ini. Aku juga telah siap untuk itu, karena ini hanya sebagai simbol adat saja yang harus dijalankan sebelum diadakannya acara pernikahan. lamaran ini tidak mungkin ditolak oleh orangtua Ayin, karena jauh hari kedua orang tua kami telah menyetujui hubungan ini.
Acara peminanganpun berlangsung dengan cepat. telah disepakati minggu depan acara pernikahan akan dilangsungkan. mendengar kedua orangtua kami yang berbicara ngorol-ngidul. aku mengajak Ayin keluar. kami duduk di bawah sengatan bulan beralaskan akar pohon beringin yang menjulang dari tanah.
Awalnya Ayin duduk dekat denganku, tapi setelah sebatang rokok kukeluarkan dan kuhisap perlahan, dia mulai menjauh dariku.
“kenapa menjauh yin?”
“Aku gak kuat dengan asap rokok!”
“bentar lagi dimatiin! Kamu dekat sini supaya tidak kedinginan.” rayuku.
Dengan terpaksa, dia akhirnya mau duduk disampingku, kuletakan tanganku dipundaknya, tiba-tiba aku merasakan tanganku basah oleh pundaknya. Keringatnya membasahi seluruh tubuhnya yang mungil. wajahnya berubah menjadi lebam setelah asap rokok yang kuhisap menyelusuri pipinya.
Tidak kulihat lagi kecantikan dalam dirinya, dia kembali menjadi Ayin yang dulu kukenal, sebelum malam pertemuanku dengannya, di malam jumat kliwon, ketika cintanya kugenggam dalam hatiku.
“wajah kamu kenapa yin” ucapku menyiasati.
Wajahnya dia tutup dengan kedua tangannya, dan berpaling dari hadapanku.
“Kamu kenapa yin?”
Wajahnya dia balikkan lagi, mumbuat kami saling berhadapan, wajahnya tetap tidak berubah lagi, dia sudah kembali menjadi Ayin yang dulu.
“Selama ini telah membohongimu dengan kecantikan yang palsu. Sebelum pertemuan kita malam itu, aku telah menaruh susuk di wajahku. Semuanya memang telah kuatur, karena aku tau abang selalu pulang malam hari dari tempat kerja. Tapi semuanya kulakukan karena aku sangat menginginkanmu.
“Jadi?”
Tak dapat lagi kulanjutkan kata hingga membentuk sebuah kalimat. aku langsung bergegas meninggalkannya. Aku tidak peduli lagi terhadap teriakannya, memanggil namaku, hingga kedua orang tua kami berhambur keluar.
“Aku tidak mau menikah dengannya?” Itulah kata yang kuucapkan ketika orangtuaku telah tiba di rumah.
“secepatnya bapak dan ybu membatalkan pernikahan itu.” Ucapku lagi.
“Aku tidak mencintainya, aku tidak mencintainya. Kalimat itu kuucapkan berulang-ulang hingga suaraku semakin hilang.
“Kenapa kamu berubah nak? Dulu kamu bersikeras supaya secepatnya kamu menikah dengan Ayin, kenapa sekarang kamu tidak ingin menikah dengannya?”
“Aku tidak mencintainya bu!” ucapku lagi
“Tapi tidak segampang itu nak, kamu harus menikah dengannya. Semua penduduk desa ini sudah tau, kalau minggu depan kau akan menikah dengan Ayin. bapak dan ybu telah meminangnya, menurut adat itu pantang membatalkan pernikahan, kalau sudah di pinang dengan adat. Apa kamu mau di cap tidak punya adat oleh penduduk kampung ini?”
“Persetan dengan adat!” aku langsung manuju kamar.
Aku masih memikirkan ucapan ybu, adat memang sulit untuk di langgar, apalagi penduduk di desa ini sangat memegang teguh tradisi-tradisi yang kadang tidak bisa diterima oleh akal pikiranku. semuanya sangat berat, memilih. menikahi Ayin atau membatalkan pernikahan itu.
Malam semakin larut, otakku lama berkerut, tapi belum juga dapat kuputuskan antara pilihan itu. Apakah aku bisa mencintai Ayin, apakah kami bisa bahagia kelak? Pertanyaan itu semakin menambah penatnya pikiranku.
Esok harinya Ybu terus menasehatiku, di ujung ucapannya selalu saja tentang adat, adat dan adat. Pikiranku semakin penat dibuatnya, hatiku juga sedikit risau tentang itu.
“Mau di tarok dimana muka Ayah dan Ybu, kalau kamu tak jadi menikah dengan Ayin? lebih baik ayah dan ybu minggat saja dari desa ini, karena ybu malu pada orang kampung.”
Aku tak sanggup mendengar ucapan ybu yang terakhir, jika ayah dan ybu harus minggat dari desa ini karena ulahku. dengan berat aku menyetujui pernikahan itu. Pernikahanku dengan Ayin akhirnya berlangsung.
Jujur, aku tak lagi mencintainya, karena cintaku telah hilang setelah kuketahui asal-muasal kecantikannya yang hitam. Pertanyaanku masih sama “apakah kebahagian dapat kutemukan bersamanya?” Ferdinaen Saragih : Bandung).
Cerpen Lainnya
No comments:
Post a Comment