Istilah transformasi karya sastra ke dalam bentuk film disebut ekranisasi, yang merupakan proses pelayar putihan yang mengacu pada fenomena transformasi atau perubahan rupa dari karya sastra “tulisan” ke film “audio visual”, yang di tayangkan di televisi maupun bioskop layar lebar.
(Saputra, H. 2004) Proses ekranisasi karya sastra (novel, cerpen puisi, atau karya literer lainnya), kedalam film atau (sinetron) merupakan proses reaktualisasi dari format bahasa tulis kedalam bahasa audio visual (gambar dan suara).
Hal inilah yang kita temui pada film “Emak ingin Naik Haji” berawal dari cerpen yang ditulis oleh Asma Nadia, yang digubah kedalam bentuk skenario film layar lebar oleh Aditya Gumai dan Adenin Adlan.
Dalam proses ekranisasi cerpen “Emak ingin Naik Haji” karya Asma Nadia tersebut ke dalam bentuk film, yang juga di sutradarai oleh Aditya Gumay, memang merupakan sebuah pencapaian yang sangat maksimal. Aditya Gumay mencoba memberikan sebuah nuansa yang khas, tanpa mengubah atau mengurangi kekuatan pada cerita aslinya.
Film ini mengisahkan perjuangan seorang wanita lanjut usia, yang sangat berkeinginan untuk menunaikan ibadah Haji. Tetapi ia terkendala oleh biaya yang sangat mahal. Setiap hari emak berusaha dengan gigih menjual kue dengan menitipkannya di warung-warung, atau menunggu pesanan orang.
Walaupun Emak tahu bahwa naik Haji adalah salah satu hal yang mungkin sulit diraih, tetapi Emak tidak putus asa, dia tetap mengumpulkan rupiah demi rupiah untuk disetorkan ke tabungan Haji. Zein, yang melihat kegigihan Emak tersebut, juga berusaha dengan berbagai cara untuk dapat mewujudkan keinginan Emak. Sampai-sampai Zein berpikir untuk melakukan perbuatan yang bertolak belakang dengan hatinya, hanya untuk mewujudkan keinginan emaknya.
Akhir cerita, keinginan si emak terwud untuk menunaikan ibadah Haji bersama anaknya Zein. Hal ini mebuat penonton merasa terharu dan akhirnya merasa bahagia, seiring dengan apa yang di rasakan oleh tokoh emak dalam film tersebut.
Secara keseluruhan film ini sudah memiliki kesesuaian dengan bentuk awalnya, yaitu cerita pendek “tulisan”, walaupun ada sedikit pelebaran cerita, namun hal ini merupakan sesuatu yang wajar. Karena banyak aspek yang tidak bisa diwujudkan dalam bentuk audio visual, berbeda dengan bentuk tulisan.
Seperti dikemukakan (Saputra, H. 2004) bahwa penyimpangan berpotensi terjadi pada ekranisasi dari novel ke film, begitu juga halnya dari cerpen ke dalam film, hal ini menegaskan bahwa terbatasnya media ekspresi dalam mengaktualisasikan produk seni dari media yang berbeda, selain juga karena berbagai faktor dari personnya, baik yang disengaja maupun tidak di sengaja Ferdinaen Saragih.
Sastra Lainnya
No comments:
Post a Comment