Cerpen Wajah yang Menikam
Dia menjelma mawar, embun lalu menjadi angin. membentangi hatiku dengan kekuatan keindahan taman Surga. Kecantikan dan keanggunan yang menari-nari setiap hari, menjadikanku sebagai lelaki sejati. Namun semua itu memudar, seperti warna baju yang sering kubeli di pasar sore. Saat kuketahui asal-usul kecantikannya.
Berawal dari malam jumat kliwon yang beku, bintik-bintik hujan merayapi wajahku, membentuk suatu kesatuan-kesatuan hingga menetes perlahan-lahan menerobos malam. kebekuan malam membuat bulu romaku berdiri tegak. Jarum jam telah menunjukan pukul sepuluh malam. tanpa berpikir panjang, kupercepat langkah menuju tempat tinggalku.
Sebenarnya jarak antara rumah dan tempatku bekerja lumayan jauh, tapi aku selalu saja merasa keasikkan melewati hutan dan gundukkan persawahan yang selalu kunikmati setiap harinya, hanya saja bulan ini musim basah yang berkepanjangan, hingga aku tak terlalu perduli tentang itu semua.
Dari kejauhan, diantara lingkupan malam yang pekat. seorang wanita berlari kearahku, dia menghampiriku dan memberikan payung untukku. dia sama sekali tidak menolehku. wanita itu hanya tertunduk kearah permukaan tanah yang lembap.
Kuperhatikan dia lebih jelas lagi. aku kaget. ternyata dia adalah Ayien, seorang wanita seumuranku. Aku sangat kenal dengannya.
“Ayien” ucapku. tetapi dia terus saja tertunduk. Tubuh mungilnya dia goyang-goyang perlahan. Hal itu membuatku geli untuk melihatnya berlama-lama. Tanpa berpikir panjang, kuangkat wajahnya dengan kedua tanganku yang basah, kami pun saling berpandangan.
“Ayin” ucapku kaget. Jantungku mulai berdesir di saat rupa yang kulihat bagai bidadari yang turun dari khayangan, seperti dalam dongeng ibuku. Aku bertahan lama dalam pandangan itu. wajahnya nikmat menyerupai nasi putih berlaukkan gulai, di musim kemarau.
Gerimis menjelma hujan, namun aku masih saja terpaku. Menyaksikan tubuhnya menggigil kedinginan, dengan pandangan yang lembut memikau. kuraih payung dari genggamannya, berjalan dalam kubangan.
Dibawah pohon besar, dia menarik kedua tanganku. Dia tidak mengucapkan sepatah kata apapun, lalu dia duduk di atas pohon yang tumbang oleh angin satu minggu yang lalu.
Wajahnya berubah awan sore, dan kedua tangannya dia lipat rapat di ke dua dadanya. dapat kutebak, panas tubuhnya telah hilang keseimbangan.
Kudekati wujutnya. dia tak merasa risih, saat tubuhku kuletakkan berdampingan dengannya. tak tega melihatnya kedinginan, dengan sedikit canggung kurangkul tubuh mungilnya, tapi dia tidak merespon mengenai apa yang kulakukan dengannya.
Hujan sepertinya mulai mereda, rintik hujan sudah mulai jarang menerpa rambutku. Kucoba bangkit berdiri dan melepaskan tanganku dari pundaknya, tapi dengan sigap diraihnya kembali.
“Tunggu, apakah kau menyukaiku?” ucapnya perlahan, aku melihat suatu ketulusan yang memancar dari raut wajahnya. aku kehilangan nyawa untuk menjawabnya.
Ketika dulu aku tak pernah melihatnya sesejuk ini. Tidak dapat kubohongi bahwa malam ini aku benar-benar menyukainya.
“Mengapa kau bertanya demikian, Apakah menurutmu aku menyukaimu?” tanyaku. Wajah terlihat memerah oleh pertanyaan, yang aku sendiri pun tidak memahami, mengapa pertanyaan itu kupertanyakan padanya.
Jalanan kembali lengang, pohon malampun tak banyak berisik. Dengan sigap diraihnya payung yang ada di genggamanku, kemudian berlari menuju perkampungan, di bawah gelap malam dan rintik-rintik hujan yang sudah mulai jarang.
“Ayin, Ayin, Ayin, aku mencintaimu.” Ucapku, hingga menggema entah berapakali membentur alam. Dia berhenti, ketika kata terakhir kuucapakan, sepertinya dia menyukai sederet kata itu. Tapi dia berlari lagi.
“Aku juga mencintaimu” ucapnya dari kejauhan. Suara itu lembut mendarat di telingaku, lalu hilang di telan angin malam yang beku. Bersambung... Cerpen Wajah yang Menikam bag 2.
Cerpen Lainnya
No comments:
Post a Comment