Konteks penuturan umpasa terdiri dari konteks situasi dan konteks budaya. Konteks situasi meliputi unsur waktu penuturan, tujuan penuturan, peralatan yang digunakan dan teknik penuturan. Konteks budaya meliputi unsur lokasi penuturan, penutur-audiens, latar sosial budaya, kondisi sosial ekonomi.
Konteks Situasi
Konteks situasi adalah unsur atau hal-hal yang berkaitan langsung dengan peristiwa pertunjukan. Waktu penuturan umpasa pernikahan III ini dituturkan saat berlangsungnya acara adat pernikahan di Simalungun yang berjuan untuk memberikan doa restu kepada kedua mempelai yang sedang melangsungkan pernikahan.
Dalam acara adat pernikahan tersebut penutur umpasa menggunakan pakayan adat yang disebut dengan ulos. Ulos penutup kepala wanita disebut suri-suri. Ulos penutup badan bagian bawah bagi wanita disebut ragipane, sedangakan penutup kepala pria disebut gotong.
Teknik penuturan umpasa ini dituturkan secara monolog. Ketika si penutur menuturkan umpasa tersebut, pendengar (audiens) tidak membalasnya dengan berumpasa. Sehingga tidak ditemukan adanya Berbalas umpasa, namun biasanya secara sepontan pendengar (audiens) mengamininya, dengan mengucapkan imma tutu (amin).
Konteks Budaya
Lokasi pengambilan data dalam penelitian umpasa ini yaitu di Desa Sigodang, Kecamatan Panei Tongah, Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara. Bahasa yang digunakan penduduk sehari-harinya adalah bahasa Simalungun Asli. Artinya bahasa Simalungun tersebut tidak terkontaminasi dengan bahasa batak lainnya, ataupun bahasa Indonesia.
Penutur dan audiens memiliki hubungan yang sangat terikat dalam penuturan umpasa pernikahan ini. artinya setelah penutur menuturkan umpasa pernikahan ini, orang-orang (audiens) yang menyaksikan pernikahan tersebut secara sepontan mengamininya, dengan mengucapkan imma tutu (amin). Hal ini melengkapi cita-cita Si penutur umpasa tersebut, yaitu agar kedua mempelai tersebut oleh Tuhan Yang Maha Esa dalam menjalankan bahtera rumah tangganya.
Orang yang menuturkan umpasa ini adalah pihak boru (pihak dari keluarga perempuan). Audiens dalam penuturan umpasa ini adalah penduduk desa dan keluarga terdekat yang diundang hadir. Pakaian yang digunakan adalah pakayan adat yang disebut dengan ulos. Ulos penutup kepala wanita disebut suri-suri. Ulos penutup badan bagian bawah bagi wanita disebut ragipane, sedangakan penutup kepala pria disebut gotong.
Latar sosial budaya meliputi peristiwa dan kebiasaan yang melatar belakangi penuturan umpasa. Umpasa Pernikahan ini dituturkan ketika memenuhi adat pernikahan, atau di Simalungun disebut mangadati. Acara adat dalam sebuh pernikahan adalah merupakan kewajiban, karena keluarga yang belum menerima adat pernikahan ini tidak boleh menerima hak-haknya di dalam adat. Misalnya seorang keluarga yang belum melaksanakan adat pernikahan, tidak boleh menikahkan anaknya dengan adat pernikahan, dengan demikian keluarga tersebut merasa terkucilkan diantara masyarakat lainnya di daerah tersebut. hal ini menjadi beban mental bagi sebuah keluarga yang belum melaksanakan kewajiban adatnya.
Dalam Pernikahan Simalungun, Raja parhata (pemuka adat) merupakan pemeran utama dalam acara pernikahan mulai dari awal hingga akhir pernikahan. pemuka adat berperan dalam memberikan waktu kepada pihak perempuan dalam melakukan kewajiban adatnya. Setiap pihak keluarga yang berkepentingan mendapatkan kesempatan untuk memberikan nasehat dan menuturkan umpasa yang berhungan dengan pemberian doa restu, salah satunya umpasa pernikahan III ini.
Pada saat adat pernikahan berlangsung, pihak keluarga perempuanlah yang berkewajiban melaksanakan adat kepada pihak laki-laki. Semua pihak perempuan yang berkepentingan memberikan ulos kepada mempelai. Setiap keluarga dari pihak perempuan yang memberikan ulos tersebut dibarengi dengan pemberian nasehat, dan diakhiri dengan menuturkan umpasa ini sebagai penutup nasehat.
Kondisi sosial ekonomi masyarakat penutur yang peneliti teliti, yang peneliti lihat dari kemampuan ekonomi, maupun tingkat pendidikan digolongkan kedalam masyarakat menengah kebawah, namun sebagian besar golongan masyarakat kebawah. Masyarakat penutur mayoritas menopang hidupnya dengan mengolah kebun (bertani).
Pendidikan masyarakat penutur sebagian besar lulusan SMP. Namun, hal ini semakin hari semakin berubah. Perkembangan zaman meningkatkan kesadaran masyarakat penutur semakin tinggi untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi lagi. Generasi penutur sudah banyak yang mengenyam pendidikan hingga SMA bahkan sampai perguruan tinggi.
Membaca lebih lengkap, kunjungi Daftar Isi Skripsi
Artikel Terkait (Skripsi)
No comments:
Post a Comment