Latar Belakang Masalah. Sastra lisan sebagai sastra tradisional telah lama ada, yaitu sebelum masyarakat tersebut mengenal keberaksaraan. Setiap bentuk sastra lisan, baik cerita maupun puisi tidak dapat terlepas dari nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai tersebut mencerminkan pola hidup masyarakat tempat sastra lisan itu pernah hidup dan berkembang.
Sastra lisan adalah kesusastraan yang menyangkut ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan (dari mulut ke mulut). Di dalam masyarakat tradisional peranan sastra lisan itu lebih besar daripada peranan sastra tulis; sebaliknya di dalam masyarakat modern peranan sastra tulis itu lebih besar daripada sastra lisan. Sastra lisan di dalam masyarakat tradisional itu bersifat komunal. Artinya, milik bersama. Sebaliknya, sastra tulis modern di dalam masyarakat modern itu bersifat individual. Artinya, sastra tulis modern tersebut bisa dinikmati perorangan di dalam kamar atau di tempat-tempat sunyi lainnya (Hutomo, 1991:3)
Salah satu karya sastra lisan itu adalah umpasa, umpasa lahir dan berkembang di masyarakat Simalungun. Bermacam-macam bentuk kesusastraan di Simalungun, telah lama ada. Usia kesusastraan itu hampir sama tuanya dengan kehidupan masyarakat Simalungun itu sendiri, yang tersebar dari mulut ke mulut sejak zaman nenek moyang terdahulu. Sastra lisan Simalungun adalah sastra yang lahir, hidup, dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Simalungun itu sendiri.
Dalam sastra lisan Simalungun ditemukan tingkatan bahasa, yaitu penggunaan bahasa yang berbeda menurut tingkatan orang lawan bicara, bahasa ratap tangis, bahasa para datu “dukun” bahasa simbol, bahasa biasa dan bahasa upacara. Tingkatan tersebut mewarnai puisi rakyat Simalungun yang tergambar dalam umpasa, umpama, tudosan, usihan, limbaga, alinan, dan ongonan (Damanik, U.H. dk.1986:24).
Jika disebut umpasa, mungkin banyak di antara kita bertanya-tanya “apa itu umpasa?” jika pertanyaan itu ditujukan kepada kalangan mahasiswa, peneliti pikir sama saja. Kebanyakan di antara kita belum mengetahui tentang apa itu umpasa. Umpasa adalah puisi rakyat yang dipergunakan dalam masyarakat Simalungun dalam pelbagai kegiatan kebudayaan, seperti pernikahan, kematian, dan acara adat lainnya.
Jika dibandingkan dengan karya sastra yang pernah kita kenal, umpasa ini hampir sama dengan Pantun Melayu, perbedaannya terdapat pada bahasa, penggunaan simbol-simbol yang sering digunakan pada umpasa dan jumlah baris dalam satu bait. Misalnya pantun memiliki ciri-ciri harus empat baris dalam satu bait, sedangkan umpasa bisa terdiri atas dua, empat, enam, delapan, sepuluh hingga enambelas baris dalam satu bait.
Umpasa sebenarnya tidak hanya ada di Batak Simalungun, tapi ada juga di daerah Batak Toba, namun dalam penelitian ini, peneliti memaparkan umpasa dari Batak Simalungun. Hal ini disebabkan keterbatasan penguasaan bahasa peneliti. Peneliti merumuskan perbedaan umpasa Batak Simalungun dengan umpasa Batak Toba yaitu perbedaan bahasa dan simbol-simbol alam yang digunakan pada sampiran sebuah umpasa. Hal ini disebabkan kondisi alam atau lingkungan yang berbeda.
Menurut Sinaga (2007:57) umpasa adalah bahasa berpantun. Bila terdiri atas dua baris, maka baris pertama sebagai sampiran dan baris kedua sebagai isi. Bila terdiri atas empat baris, maka baris pertama dan kedua sebagai sampiran dan baris ketiga dan keempat sebagai isi. Bila terdiri atas enam baris, maka baris pertama hingga baris ketiga sebagai sampiran, dan baris keempat hingga baris keenam sebagai isi. Bila terdiri atas delapan baris, baris pertama hingga baris keempat sebagai sampiran, dan baris kelima hingga kedelapan sebagai isi, begitu halnya jika terdiri atas sepuluh atau dua belas baris.
Penelitian tentang umpasa sudah pernah dilakukan oleh Henry Guntur Tarigan (1980) dalam bukunya yang berjudul "Perbandingan Umpasa Simalungun dengan Pantun Melayu", dalam proyek penerbitan buku Sastra Indonesia dan Daerah. Dalam penelitiannya Henry Guntur Tarigan belum menganalisis lebih jauh, hanya sebatas membandingkan umpasa dengan pantun dari segi stuktur, seperti jumlah baris, dan persajakan pada umpasa.
Selain itu masih ada lagi penelitian terdahulu tentang umpasa, misalnya Urich H Damanik, dkk (1986) dalam bukunya "Sastra Lisan Simalungun". jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Henry Guntur Tarigan, penelitian ini lebih luas, misalnya sudah mulai menganalisis intonasi dan fungsi umpasa Simalungun.
Dengan memperhatikan hal di atas, timbul ketertarikan peneliti untuk mengetahui secara mendalam dan lebih jauh mengenai umpasa Simalungun (khususnya umpasa pernikahan) sebagai salah satu genre sastra lisan. Arah penelitian meliputi analisis struktur, konteks penuturan, proses penciptaan dan fungsi umpasa Simalungun. Dalam pembatasan masalah, yang diteliti adalah umpasa pernikahan Simalungun. Hal ini disebabkan begitu beragamnya umpasa Simalungun. Sementara itu umpasa yang paling sering dituturkan adalah umpasa pernikahan.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada objek penelitian. Dalam Struktur peneliti menganalisis formula sintaksis, majas dan isotopi. kemudian dilanjutkan dengan analisis konteks penuturan, proses penciptaan dan fungsi yang belum ada pada penelitian sebelumnya.
Artikel Terkait (Skripsi)
No comments:
Post a Comment