Setelah Sekian Tahun
Dunia selalu diisi oleh keindahan cinta, di trotoar, terminal, hotel, dimana-mana pasti ada cinta, jika di tempat itu masih kita temui kaum hawa dan adam, kedua-duanya bagaikan magnet positip dan negatif, selalu tarik-menarik, selamanya, hingga dunia diporak-porandakan oleh kiamat.
Jika seseorang mendapatkan cinta hanya dengan sekejap, hanya dengan suatu ungkapan, menurutku dialah orang yang paling beruntung, tanpa banyak berlari, mendaki sudah bertengger di puncak keindahan itu.
Sudah kudaki setinggi puncak evrest dalam hatinya, menaburi kata-kata pujangga disetiap sudut hatinya, untuk membuatnya bahagia, tapi tak satu titik cinta yang kutemukan. kata-kata penolakanpun tidak pernah bertengger dikedua telingaku, hanya menunggu.
Dengan dayaku, aku harus bisa melupakannya, menghapusnya dari stupa hatiku, walaupun harus kucabut semua panah-panah cinta itu dari dalam hati, Melewati semua kesunyian disetiap malam-malamku, hanya dengan bayang-bayangnya. Cinta ini benar-benar membuatku gila. Jika band D’Masif mengatakan cinta itu membunuhku, itu lebih gampang buatku, namun cinta itu belum membunuhku, tapi menyiksaku perlahan.
Sudah tiga tahun aku tidak mendengar kabar tentangnya, mungkin disebapkan jarak yang jauh, tapi aku tetap saja belum bisa melupakannya. sudah sering kucoba membuangnya jauh dari hatiku, mengikis cinta itu secara perlahan, tapi aku tidak pernah bisa melakukannya, karna urat-urat cinta itu tumbuh dan berkembang kembali.
Dikampus teman-teman selalu mengejekku bila aku mengungkit namanya, apakah aku memang salah terhadap kesetianan cintaku?
“Heh friend, jika kamu selalu saja mengharapkannya, tak lama lagi mungkin kamu akan stres, masih banyak cewek-cewek lain.”
Aku selalu mencoba menjelaskan kepada mereka, aku juga tidak ingin hidup seperti ini, tapi aku tidak sanggup melawan keinginan hatiku, karna hatiku selalu saja diisi olehnya. Tak tergantikan oleh wanita manapun.
“aku memang heran atas kesetiaanmu friend, tapi apakah kamu yakin dia mau menerimamu, jangankan menerima, mungkin dia sudah lupa tentang dirimu.”
Mendengar itu jelas saja hatiku lesu, aku tak mampu mendengarnya, apa lagi membayangkan jika itu memang benar-benar tejadi. Organ yang satu ini selalu saja berontak jika ada orang yang mencoba mengatakan seperti itu.
Haruskah aku munafik dengan hidupku? Mengenyampingkan rasa cintaku yang begitu besar. andaikan saja aku bisa aku pasti melakukan itu. berprilaku seperti teman-teman yang mampu membagi-bagi hatinya untuk beberapa wanita, bagiku hal seperti itu sama saja seperti anjing-anjing jalanan, yang selalu pindah-pindah pasangan.
Aku mungkin diciptakan sebagai lelaki yang setia. Mencintai seorang wanita hanya satu saja. Apakah aku harus menyesal diciptakan sebagai seorang lelaki yang setia, atau mungkin harus bangga?, sekarang aku belum dapat menjawabnya.
Melewati malam aku hanya bisa melamun dalam bayangan, bertengger pada sinar rembulan, sedangkan siang hidupku kosong, andaikan kucoba melamun, mentari pasti akan menertawaiku, dan mengejekku seperti teman-temanku.
Kucoba bertanya tentang keadaannya, kuhubungin teman-temannya, tapi apa yang kudapatkan, teman-temannya juga mengejekku seperti yang lainnya. aku semakin tidak mengerti tentang kesetiaanku, bayangkan aja kalau teman-teman wanitanya mengejekku demikian, apakah wanita tidak suka kesetian? Jika benar demikian, berarti aku sudah salah menjalani kesetiaan itu, dan aku akan menyesal diciptakan sebagai seorang lelaki yang setia.
Waktu terus saja berjalan, melewati derasnya hujan, teriknya mentari, hingga tak terhitung lagi pelangi memancarkan keindahannya, tetapi tetap saja aku tak pernah mengetahui tentangnya, semua itu menjadi sebuah teka-teki yang terbesar buatku.
Selesai wisuda, aku tidak langsung melamar pekerjaan, aku belum berkeinginan disibukkkan rutinitas itu. Aku masih ingin hidup bebas untuk beberapa bulan kedepan, melewati hari-hari tanpa ada ikatan yang harus dikerjakan
Hidup pengangguran membutku merasa jenuh dan bosan, aku semakin sering merenung kadang teringat pada gadis itu lagi, dia bernama Silvi, nama yang selalu menjadi ratu dalam hatiku. Aku sudah jatuh cinta padanya sejak SMP , tapi aku tidak mampu mengungkapkan padanya. Namun ketika waktu SMA aku mengungkapkan perasaan itu untuknya, tetapi dia tidak membalas perasaan itu, dia hanya mengatakan kalau dia belum kepikiran untuk menjalin hubungan. Mungkin hal itulah yang membuatku terus menunggu dan selalu menunggu.
Rasa bosan yang menghampiriku, memakasaku untuk mengakhiri jabatanku sebagai pengangguran, ingin rasanya kuakhiri status sosial itu dengan cepat, tapi itu masih memerlukan waktu yang cukup lama, karna belum tentu langsung diterima.
Hari ini, aku merasa beruntung, sekali melamar pekerjaan aku langsung diterima di salah satu penerbit buku, aku semakin senang ketika aku dipekerjakan sebagai editor disana, karna itu adalah suatu pekerjaan yang sangat gampang dan menyenangkan buatku.
Disela-sela waktu senggang, aku selalu merasa dihantui bayangannya, cinta dibelahan dadaku selalu membuatku terasa tersesak, tidak dapat kubayangkan jika dia nantinya tidak memilihku dan meninggalkanku. Jika itu memang benar-benar terjadi, mungkin lebih baik kuakhiri hidup ini tanpa pernah dipersatukan dengan wanita manapun, karna hatiku, jiwa dan ragaku sudah dipenuhi oleh nama dan bayangnya.
telepon yang berdering menggetkanku dari lamunan itu, setelah kulihat ternyata ybu. aku penasaran mengapa ybu meneleponku tengah malam begini.
“Hallo mam!”
“Ini kamukan nak?”
“Ya mam, masak ybu lupa suaraku sih ?, lagian ini nomor yang biasa kupakai ”
“Maklumlah nak ybu sudah tua, pendengaran ybu mulai terganggu.”
“Ada apa mam telepon malam-malam begini?” tanyaku mendesak
“nggak, ybu hanya kangen sama kamu. Bagaimana tentang pekerjaan kamu, kamu betah nggak kerja disana?”
“Ya betahlah mam, namanya juga berkat, tidak mungkinlah saya menyianyiakan pemberian Tuhan.”
“Ya udah, mama yakin, kalau kamu betah kerja disana. Begini nak, ybu kan sudah tua, jadi apakah kamu belum memiliki rencana untuk menikah, karna ybu dan Bapak sangat berkeinginan menimang cucu dari kamu, sebelum kami berpulang menghadap yang maha kuasa. lagian apa kamu tidak malu dilangkahi oleh adikmu? Karna, ybu dengar adik kamu sudah punya teman wanita. kali ini, dia sepertinya serius dengan gadis itu.”
Pertanyaan ybu membuat kakiku bergetar, aku tidak mampu menjawab pertanyaan itu, karna semuanya serba salah buatku. Jika aku menyatakan sudah merencanakan pernikahan, tapi dengan siapa? Namun apabila aku menyatakan yang sebenarnya, bahwa aku belum memikirkan tantang pernikahan, mungkin Ybu sangat sedih. Aku tidak mau membuat ybu sedih, karna aku telah berjanji pada diriku sendiri untuk selalu membahagiakannya, selamanya.
“Iya mam, aku sudah memikirkan hal itu, tapi belum sekarang, jika sudah waktunya aku akan kukabarin kepada Bapak dan Ybu.”
“Ya udah, ybu tunggu lo!”
“Ok mam!”
Malam yang semakin larut, tidak membuatku terasa ngantuk. Pikiranku masih berputar, hatiku semakin gelisah, tentang permintaan ybu. Andai saja gadis itu meneleponku malam ini, aku pasti memintanya untuk menikah denganku, walaupun dengan memohon kepadanya.
Telepon genggamku bergetar lagi, tapi nomornya tidak kukenal. Aku angkat telepon itu
“hai, selamat malam!” ucapnya dari seberang sana.
Tanpa basa-basi aku langsung tanya siapa gerangan yang menelponku malam-malam begini. Dia mengaku teman dari gadis yang selalu mendermaga di pusaran hatiku. Dengan rasa senang, kutanya apa maksudnya meneleponku malam-malam begini.
“aku sebenarnya ingin mengatakan kepadamu kalau....” dia tidak melanjutkan perkataannya.
“Kalau apa?” desakku lagi
“kalau gadis yang kau puja selama ini, tidak pernah memikirkanmu, sekarang dia sudah memiliki kekasih. Dan aku dengar mereka sudah tunangan.”
“Tunangan?” bentakku
Mendengar ucapan itu, aku bagaikan tidak bernyawa. hatiku diremukkan oleh kata-kata yang hanya satu kalimat itu. Ingin rasanya kuakhiri hidup ini, detik ini. dia berteriak-teriak memanggilku dari seberang sana, tapi aku tidak memperdulikannya. amarahku tidak kuasa kubendung, hingga caci-maki tidak sengaja kulontarkan untuk lelaki yang merenggut cintaku. Walaupun sebenarnya aku sendirilah yang tolol, yang hanya menanam cinta dalam relung-relung hati, bagaikan menanam bunga lalu membiarkanya tumbuh dihutan luas, sehingga lupa, dimana bunga itu tertancap. Kini bunga itu telah dipetik oleh orang lain, tapi hatiku selalu saja berusaha berharap besar untuknya. Hal itu yang membuatku sadar tentang ayat dalam Kidung Agung yang menyatakan,
“Cinta itu kuat seperti maut, karna air yang banyak tidak bisa membuatnya padam, bahkan sungai-sungaipun tidak bisa membuatnya hanyut, dia tidak bisa dibeli dengan harta sebanyak apapun, dan kalau ada orang yang mencoba melakukannya, orang itu pasti akan terhina.” aku telah mengalaminya detik ini
Cintaku bagaikan ombak yang menghempas kedaratan, yang tidak berbalas untuk menendangnya kembali kesamudera, lalu terjerat pada batu-batu besar, dan tak akan bisa kembali lagi. Semuanya sudah pupus, pupus seiring berjalannya waktu.
Hari-hariku terlewatkan begitu lama. Sepertinya bumi lesu berputar pada porosnya. Tapi itu hanya perasaanku saja, mungkin karna kesedihan, dan hatiku yang berantakan entak kemana.
Cintaku yang begitu besar, tidak membuatku menyerah untuk membayangkan silvi, menemaniku disisa hidupku kelak. Kesetian itu nampaknya masih kokoh saja dalam jiwaku, hingga aku berencana mengambil cuti akhir tahun. menemui silvi dan menghujaninya dengan banyak pertanyaan. Aku berharap setelah aku bertemu dia, semua teka-teki itu terjawab tanpa ada yang tersisa.
Hari yang kunantikan telah tiba, tak lupa aku berpamitan pada rekan-rekan kerja, terutama kepada rekan yang telah bersedia menggantikan posisiku sementara sebagai editor.
“Selamat jalan teman, saya akan selalu mendoakanmu.” Ucapnya
“terimakasih” jawabku.
aku langsung pergi meninggalkan ruangan itu, rasanya aku tak sabar untuk cepat-cepat pulang. Tanpa berlama-lama dikosan aku langsung berangkat menuju bandara. Dalam pesawat aku mulai lagi berhayal, tidak dapat aku bayangkan jika Silvi benar-benar melupakanku, rasanya sia-sia saja, aku melakukan semua ini.
Kakiku mulai gemetar menuruni tangga pesawat. Mungkinkah itu suatu pertanda yang buruk, tanyaku dalam hati. Aku terus berjalan dan memberhentikan taksi, pergi menuju rumah orangtuaku.
Sudah lima hari aku berdiam diri di rumah, berpikir bagaimana aku menemui gadis itu. Besok adalah hari terakhir, karna cutiku hanya seminggu. Aku tidak mau menyianyiakan kesempatan itu, karna itu adalah tujuan utamaku datang ke kota ini.
Keesokan harinya aku berangkat, menuju rumahnya. Setiba disana aku terkaget, begitu banyak orang-orang dalam rumah itu, sepertinya ada acara. Kulihat papan bunga yang bertuliskan “selamat berbahagia.”
Sejenak jantungku berhenti berdenyut, gadis itu telah dipersunting dengan lelaki lain. Dengan lunglai kugerakkan badanku, kearah yang berbeda. Aku pulang dengan kesedihan dan keputusasaan, semunya telah usai Ferdinaen Saragih (2008: Bandung).
Cerpen Lainnya
No comments:
Post a Comment