Wednesday, November 30, 2011

Sumber Data

Sumber data sastra lisan Simalungun dalam penelitian ini diperoleh dari dua orang penutur umpasa di Desa Sigodang, Kecamatan Panei Tongah, Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara. Umpasa yang akan diteliti adalah umpasa pernikahan Simalungun yang terdiri dari empat baris.

Informan dalam penelitian ini ialah Raja Parhata (pemuka adat) dan pengetua. Informan pertama adalah Josten Saragih Simarmata (Oppung Elys), seorang mantan Penghulu (Kepala Desa) yang telah berusia lanjut. Beliau mengetahui banyak sastra lisan, seperti puisi rakyat, cerita rakyat begitu juga sejarah Simalungun itu sendiri. Penutur yang kedua adalah Wadinson Purpa Tambak, berprofesi sebagai petani dan Raja Parhata (pemuka adat) dalam acara adat pernikahan, kematian dan acara adat lainnya; mengetahui banyak tentang umpasa (puisi lisan) dan pintar manggual (bergendang).

Membaca lebih lengkap, kunjungi Daftar Isi Skripsi

Artikel Terkait (Skripsi)

Prosedur Penelitian

Dari keseluruhan rangkaian metode penelitian tersebut dapat dirumuskan langkah-langkah yang dilewati oleh peneliti dalam melakukan penelitian umpasa pernikahan Simalungun tersebut. Langkah-langkah tersebut sebagai berikut:

Pertama, menentukan objek penelitian. Objek penelitian dalam penelitian ini adalah umpasa pernikahan Simalungun. Umpasa tersebut direkam pada 8 dan 9 Mei 2011 dengan menggunakan telepon genggam (HP I-mobile TV 628: kamera 3 mega pixsels dari Casio Hitachi Mobile communications, high contras wide view angle screen, VDO Recorder). Sehingga penelitian ini memperoleh bukti yang konkrit. Hasil perekaman tersebut disimpan dalam bentuk CD.

Kedua, setelah teks umpasa pernikahan diperoleh dari hasil perekaman dan wawancara, umpasa tersebut kemudian ditranskripsikan sesuai dengan bahasa aslinya, yaitu bahasa Simalungun. Umpasa yang sudah ditranskripkan tersebut, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dengan tidak mengubah atau menghilangkan bentuk dan makna aslinya.

Ketiga, menganalisis struktur teks umpasa pernikahan tersebut. Analisis tersebut meliputi: formula sintaksis, formula bunyi (rima, asonansi dan aliterasi), formula irama, diksi, majas dan tema. Keseluruhan unsur-unsur tersebut saling berhubungan satu sama lain dalam membentuk komposisi teks umpasa pernikahan Simalungun. Analisis ini juga akan memperlihatkan umpasa Simalungun sebagai suatu bagian dari sastra lisan.

Keempat, menganalisis konteks penuturan. Analisis difokuskan pada konteks situasi dan konteks budaya masyarakat pendukungnya. Konteks situasi meliputi unsur waktu penuturan, tujuan penuturan, peralatan yang digunakan dan teknik penuturan. Konteks budaya meliputi unsur lokasi penuturan, penutur-audiens, latar sosial budaya, kondisi sosial ekonomi.

Kelima, menganalisis proses penciptaan. Proses penciptaan diawali dengan analisis proses pewarisan umpasa tersebut. Kemudian analisis proses penciptaan tersebut dihubungkan dengan konsep formula, yaitu formula sintaksis dan formula bunyi (rima, asonansi dan aliterasi) yang telah dianalisis sebelumnya pada analisis struktur.

Terakhir, menganalisis fungsi. Analisis fungsi tersebut beracuan pada aplikasinya. Artinya analisis fungsi umpasa tersebut dihubungkan dengan masyarakat penuturnya.

Membaca lebih lengkap, kunjungi Daftar Isi Skripsi

Artikel Terkait (Skripsi)

Teknik Pengolahan Data

Ada beberapa tahap dan prosedur dalam pengolahan data. Adapun tahap dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

Klasifikasi data
Data akan dipilah-pilah sesuai dengan kelompoknya, kategori pengelompokan tersebut bersifat natura. Tahap pertama, yaitu menentukan objek. Selanjutnya, mengumpulkan data. data diperoleh dari perekaman. Perekaman adalah sesuatu yang penting untuk mendapatkan data yang valid. Perekaman berhubungan dengan teknik wawancara. Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu telepon genggam (HP) yang dapat berfungsi sebagai perekam pembicaraan. Sehingga penelitian ini memperoleh bukti yang konkret dari hasil perekaman tersebut yang disimpan dalam bentuk CD. setelah data diperoleh dari hasil perekaman dan wawancara kemudian data tersebut diklasifikasikan (penggolongan data).

Analisis data
Setelah memilah-milah data sesuai dengan kelompoknya, kemudian data tersebut ditranskripsikan. Pentranskripsian teks lisan ke dalam teks tertulis ini bertujuan untuk mempermudah penelitian pada tahap selanjutnya. Transkripsi yang dilakukan masih mempertahankan bahasa asli penutur. Maka dalam hal ini, data tersebut diterjemahkan terlebih dahulu ke dalam bahasa Indonesia. Setelah beberapa tahapan telah dilalui pada prosedur penelitian ini. Pada tahap selanjutnya adalah melakukan analisis teks yang meliputi: stuktur, konteks penuturan, proses penciptaan, dan fungsi. Tahap analisis ini bertujuan untuk melakukan penulisan laporan pada tahap selanjutnya. Analisis yang dilakukan ini tidak terlepas dari rujukan dan penggunaan teori-teori yang relevan serta penelitian sebelumnya yang mempunyai pertalian dengan penelitian ini.

Membaca lebih lengkap, kunjungi Daftar Isi Skripsi

Artikel Terkait (Skripsi)

Teknik Pengumpulan Data

Teknik Pengumpulan data yang digunakan antara lain: wawancara, dokumentai data dan observasi. Agar lebih jelas, akan dijelaskan secara singkat di bawah ini.

Wawancara
Teknik wawancara yang digunakan dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu wawancara tidak terarah dan wawancara terarah. Wawancara tidak terarah adalah wawancara yang bersifat bebas atau santai dan memberikan kesempatan sebesar pada informan untuk memberikan keterangan yang ditanyakan, setelah peneliti mendapatkan gambaran tantang bentuk teks yang hendak diteliti, selanjutnya peneliti menggunakan bentuk yang kedua, yaitu wawancara terarah. Wawancara terarah adalah wawancara yang bentuk pertanyaan untuk diajukan pada informan sudah tersusun sebelumnya dalam bentuk suatu daftar tertulis, jawaban yang diharapkanpun bisa dibatasi dengan yang relevan saja dan diusahakan informan tidak berbicara sesuka hatinya (Danandjaja, 2002:195).

Dokumentasi Data
Dokumentasi adalah pengumpulan data yang diperoleh melalui data tertulis. Peneliti mencari data mengenai hasil yang berupa catatan, transkripsi, buku, surat kabar, majalah, agenda, dan sebagainya mengenai objek yang akan diteliti.

Observasi
Observasi merupakan kegiatan mengamati kejadian, gerak atau proses, dan pengamatan secara objektif. Dalam melakukan observasi tidak banyak kendala yang dihadapi peneliti. Hal ini disebabkan kecenderungan-kecenderungan dan minat yang mempengaruhi manusia.

Observasi yang dilakukan peneliti adalah observasi partisipan. Artinya peneliti sekaligus sebagai observer yang juga terlibat langsung menjadi satu bagian dari kelompok masyarakat penutur umpasa pernikahan Simalungun. Observer partisipan ini dilakukan untuk mempermudah peneliti menggali dengan cara mengamati objek yang sedang diteliti.

Membaca lebih lengkap, kunjungi Daftar Isi Skripsi

Artikel Terkait (Skripsi)

Teknik Penelitian

Penelitian sastra lisan sedikit berbeda dengan sastra tulis karena bahan sastra lisan yang disajikan objek kajiannya masih tersebar di masyarakat/belum terkumpul, maksudnya masih dalam bentuk lisan di masyarakat penuturnya.

Ada beberapa tahap melakukan penelitian sastra lisan. Endraswara (2009:225) menjelaskan empat tahapan, yaitu sebagai berikut:
  • persiapan penelitian;
  • pengumpulan data sastra lisan di lapangan;
  • pengklasifikasian data;
  • penganalisisan data.

Membaca lebih lengkap, kunjungi Daftar Isi Skripsi

Artikel Terkait (Skripsi)

Metode Penelitian

Pengertian metode menurut Surakhmad (1998:131) adalah suatu cara utama yang dipergunakan untuk mencapai suatu tujuan, misalnya untuk menguji serangkaian hipotesa, dengan mempergunakan teknik serta alat-alat tertentu. Cara utama itu dipergunakan setelah penyelidik memperhitungkan kewajarannya ditinjau dari tujuan penyelidikan serta dari situasi penyelidikan.

Dalam dunia penelitian terdapat bermacam-macam metode penelitian yang digunakan. Menurut Surakhmad (1998) ada tiga macam metode yang biasa dipergunakan dalam penelitian, yaitu:
  • metode historik;
  • metode deskriptif;
  • metode eksperimental.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Mohammad Nazir (1999 : 63) berpendapat bahwa metode dekriptif adalah metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu obyek, suatu kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan dari penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antarfenomena yang diselidiki.

Ciri-ciri metode diskriptif menurut Surakhmad (1998:140) adalah sebagai berikut.
  • Memusatkan diri pada pemecahan masalah yang ada sekarang, pada masalah-masalah yang aktual.
  • Data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dan dijelaskan kemudian dianalisa (karena itu metode ini sering pula disebut metode analitik)
  • Menjelaskan setiap langkah penyelidikan deskriptif itu dengan teliti dan terperinci, baik megenai metodologi maupun mengenai detail teknik secara khusus.
  • Menjelaskan prosedur pengumpulan data, serta pengawasan dan penilaian terhadap data itu.
  • Memberi alasan yang kuat mengapa dalam metode deskriptif tersebut penyelidik mempergunakan teknik tertentu dan bukan teknik lainnya.
Surakhmad (1998:39) mengemukakan bahwa penyelidikan deskriptif tertuju pada masalah yang ada pada masa sekarang. Karena banyak sekali ragam penyelidikan demikian, penyelidikan deskriptif lebih merupakan istilah umum yang mencakup berbagai teknik deskriptif. Di antaranya ialah penyelidikan yang menuturkan, menganalisa, dan mengklasifikasi; penyelidikan dengan teknik survei, dengan teknik interviu, angket, observasi atau dengan teknik tes, studi kasus, studi komperatif, studi waktu dan gerak, analisa kuantitatif, studi kooperatif atau operasional.

Jenis metode deskriptif yang disajikan dalam penelitian ini adalah secara kualititif. Menurut Ratna (2008:47-48) metode secara kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya.

Ciri-ciri penelitian kualitatif menurut Ratna (2008:47-48) adalah sebagai berikut.
  • Memberikan perhatian utama pada makna dan pesan, sesuai dengan hakikat objek, yaitu sebagai study kultural.
  • Lebih mengutamakan proses dibandingkan dengan hasil penelitian sehingga makna selalu berubah.
  • Tidak ada jarak antara subjek peneliti dengan objek penelitian, subjek peneliti sebagai instrumen utama, sehingga terjadi interaksi langsung di antaranya.
  • Desain dan kerangka penelitian bersifat sementara sebab penelitian bersifat terbuka.
  • Penelitian bersifat alamiah, terjadi dalam konteks sosial budaya masing-masing.
Membaca lebih lengkap, kunjungi Daftar Isi Skripsi

Artikel Terkait (Skripsi)

Tuesday, November 29, 2011

Fungsi Sastra Lisan

Setiap sastra lisan atau folklor memiliki fungsi atau kegunaan di dalam masyarakat pemiliknya. Hal inilah yang menjadikan sastra lisan diminati dan dipertahankan oleh suatu komunitas masyarakat Pemiliknya.

Pendapat yang khusus membicarakan fungsi puisi rakyat adalah yang dikemukakan oleh Danandjaja. Danandjaja (2002:49-50) mengatakan bahwa sajak rakyat berfungsi sebagai (1) alat kendali sosial, (untuk hiburan), (3) untuk memulai sesuatu permainan, dan, (4) untuk menekan dan mengganggu orang lain.

Pendapat lainnya tentang fungsi sastra lisan menurut Hutomo (1991:69-74) adalah sebagai berikut: (1) sebagai sistim proyeksi, (2) untuk pengesahan kebudayaan, (3) sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial, dan sebagai alat pengendali sosial, (4) sebagai alat pendidikan anak, (5) untuk memberikan suatu jalan yang dibenarkan oleh masyarakat agar dia dapat lebih superior daripada orang lain, (6) untuk memberikan seseorang jalan yang dibenarkan masyarakat agar dia dapat mencela orang lain, (7) sebagai alat untuk memprotes ketidakadilan dalam masyarakat, (8) untuk melarikan diri dari himpitan hidup, atau dengan kata lain berfungsi sebagai hiburan semata.

Dalam melihat fungsi tradisi lisan atau folklor sebaiknya dikembalikan kepada masyarakat pemiliknya. Fungsi-fungsi tersebut bisa saja hilang atau hanya tinggal fungsi tertentu. Bertahan atau tidaknya fungsi itu tergantung pada sikap suatu masyarakat atas tradisi lisan atau folklor yang lahir dan berkembang dalam masyarakat tersebut.

Fungsi tersebut di atas akan digunakan sesuai dengan objek kajian dalam penelitian ini. Artinya, landasan teori tersebut akan digunakan sebagai acuan yang aplikasinya sesuai dengan kondisi data.

Membaca lebih lengkap, kunjungi Daftar Isi Skripsi

Artikel Terkait (Skripsi)

Proses Penciptaan

Proses penciptaan dalam penelitian ini yaitu membicarakan mengenai proses kreatif penciptaan sebuah umpasa. Artinya, proses penciptaan suatu umpasa oleh masyarakat tertentu, baik dengan belajar, sistim pewarisan tunggal, atau tradisi lisan dari mulut ke mulut oleh seluruh masyarakat pada kelompok dan daerah tertentu.

Proses penciptaan dalam puisi lisan berbeda dengan puisi bukan lisan atau puisi tertulis. Pada puisi tertulis terdapat perbedaan antara moment penciptaan dengan moment pembacaan (penuturan). Sedangkan dalam puisi lisan kedua moment itu menjadi satu. Pengarang puisi lisan adalah penyair atau penyaji.

Proses penciptaan menurut Lord (1965:13) momen (saat) komposisi (penciptaan) adalah penting dalam pertunjukan. Lord menekankan betapa tidak terlalu berperannya unsur menghafal dalam tradisi (puisi) lisan. Faktor tertentu dalam menguasai nyanyian (puisi) rakyat adalah memahami formula dan membiasakan diri untuk mendengar nyanyian atau tuturan (puisi). Karena kebiasaan, formula dalam puisi dengan sendirinya dapat dikuasai oleh penyaji sehingga pada waktu penuturan, puisi itu muncul ibarat air yang mengalir. Lord menyebutkan bahwa dalam puisi tertulis antara pencipta dengan pembacaan terdapat perbedaan, perbedaan itu tampak pada moment (saat) yang terjadi, namun dalam puisi lisan di antara keduanya tidak terdapat perbedaan atau dengan kata lain menjadi satu.

Membaca lebih lengkap, kunjungi Daftar Isi Skripsi

Artikel Terkait (Skripsi)

Konteks Penuturan

Menurut Molinowski (Badrun, 2003:38) kata-kata dalam sebuah percakapan hanya dapat dipahami jika dikaitkan dengan konteks. Pemahaman konteks situasi saja belum cukup untuk memahami kata-kata yang digunakan dalam percakapan, tetapi juga harus dibarengi dengan pemahaman konteks budaya.

Konteks situasi adalah lingkungan atau tempat peristiwa penuturan berlangsung. Konteks situasi atau tempat berlangsungnya teks, menurut Halliday (Badrun, 2003:38) mempunyai tiga unsur, yaitu medan, pelibat, dan sarana. Medan menunjuk pada hal yang sedang dilakukan oleh pelibat yang di dalamnya menggunkanan bahasa sebagai unsur pokok. Pelibat menunjuk pada orang-orang yang terlibat, yaitu bagaimana sifat, kedudukan, dan peranan mereka. Sedangkan sarana merujuk pada bagian yang diperankan bahasa. Konteks budaya adalah lingkungan budaya suatu daerah termasuk peristiwa dan norma yang melatari penuturan.

Berdasarkan pendapat di atas, konteks itu ada dua, yaitu konteks penuturan umpasa yang terdiri atas konteks situasi dan konteks budaya. Konteks situasi meliputi unsur waktu penuturan, tujuan penuturan, peralatan yang digunakan dan teknik penuturan. Konteks budaya meliputi unsur lokasi penuturan, penutur-audiens, latar sosial budaya, kondisi sosial ekonomi.

Membaca lebih lengkap, kunjungi Daftar Isi Skripsi

Artikel Terkait (Skripsi)

Tema

Tema merupakan ide pokok atau gagasan yang terkandung dalam isi puisi. Menurut Lord (Badrun, 2003:27) tema adalah peristiwa atau adegan yang diulang pada bagian-bagian deskriptif dalam cerita. Lord menegaskan bahwa tema adalah kelompok ide yang digunakan secara teratur pada penciptaan cerita pada gaya formulaik nyanyian tradisional. Lagipula tema tidak dapat diungkapkan dalam kata-kata yang persis sama dalam sekelompok ide.

Tema berkaitan dengan kajian isotopi. Greimas meminjam istilah isotopi dari ilmu Kimia dan Fisika. Istilah isotopi berasal dari bahasa Yunani, isos (sama) dan topos (tempat). Menurut Greimas isotopi adalah suatu kesatuan kategori semantis yang timbul dari redudansi dan yang memungkinkan pembacaan cerita seragam sebagaimana yang dihasilkan dari pembacaan ujaran itu bagian demi bagian, dan dari pemecahan ambiguitas yang dituntun oleh upaya pembacaan yang senada Greimas (Badrun, 2003:28).

Kajian isotopi berguna untuk memahami tema. tatanan tema terbentuk dari berbagai motif yang disusun secara hirarkis. Kehadiran tema-tema utama dan tema-tema minor, dapat dilihat melalui pemunculan motif secara berulang. Tema-tema itu ditandai dengan kriteria keberulangan karena dasar analisis adalah isotopi (Zaimar:1990:114).

Membaca lebih lengkap, kunjungi Daftar Isi Skripsi

Artikel Terkait (Skripsi)

Majas

Selain menggunakan kata-kata yang bermakna denotasi dan konotasi, penyair lisan juga menggunakan kata-kata yang bermajas. Bagi Luxemburg dkk. (1991:67) majas adalah gaya semantis yang merujuk pada makna kata, bagian kalimat, dan kalimat. Kemudian dijelaskan lagi oleh Van Luxemburg dkk. (1991:67), majas berfungsi menghubungkan dua ranah makna atau kerangka acuan yang tidak (hampir tidak) ada hubungannya dan menimbulkan makna baru.

Kemudian menurut Pradopo (2005:61-62), majas merupakan salah satu alat kepuitisan yang dapat menyebabkan puisi menjadi menarik perhatian, kesegaran, hidup, dan menimbulkan kejelasan gambaran angan. Menurut Meolioner (Badrun 2003:36) majas dibedakan tiga macam: majas perbandingan atau identitas, majas pertentangan dan majas pertautan atau kontiguitas. Majas perbandingan meliputi majas umpamaan, metafora, dan penginsanan, yang termasuk majas pertentangan adalah ironi, hiperbola dan litotes, sedangkan yang termasuk dalam majas pertautan adalah metonimia, sinekdoke, kilatan dan eufemisme. Keraf (1996:124) membagi majas atau gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat. Diantaranya, klimaks, antiklimaks, paralelisme, antitesis dan repetisi.

Majas-majas tersebut tidak dibicarakan semua. Pembicaraan ini akan dibatasi pada majas tertentu. Adapun majas yang dibicarakan adalah majas metafora dan majas repetisi. Majas metafora adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk yang singkat Keraf (1996:139). Majas repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai (1996:139).

Membaca lebih lengkap, kunjungi Daftar Isi Skripsi

Artikel Terkait (Skripsi)

Diksi

Diksi adalah pilihan kata dalam puisi. Diksi adalah salah satu unsur penentu dalam keberhasilan puisi. Kemampuan memilih kata merupakan syarat utama bagi penyair dalam menyusun puisi. Kemampuan itu berbeda antara penyair yang satu dengan yang lain. Proses memilih kata dalam puisi tertulis dan puisi lisan berbeda. Pada puisi tertulis, kata-kata yang dipilih dapat diperbaiki sepanjang puisi belum selesai, sedangkan dalam puisi lisan prosesnya berlangsung dengan cepat dan tidak dapat diulang. (Badrun: 2003:34)

Kata-kata merupakan unsur utama sekaligus sebgai bahan puisi; kata-kata itu dipilih dengan cermat oleh penyair. Kata-kata yang dipilih dapat bermakna konotasi, denotasi, dan majasi. Moelione Altenberd dan Leslie L.Lewis (Badrun, 2003:34) mengatakan bahwa denotasi adalah kata secara harfiah. Sedangkan konotasi adalah asosiasi pikiran yang dapat menimblkan nilai rasa.

Membaca lebih lengkap, kunjungi Daftar Isi Skripsi

Artikel Terkait (Skripsi)

Formula Irama

Irama adalah pergantian naik turun, panjang pendek, keras, lembut ucapan bunyi bahasa dengan teratur Pradopo (Badrun, 2003:31). Pradopo membagi irama menjadi dua macam, yaitu metrum dan ritme. Metrum adalah irama yang tetap, artinya pergantiannya sudah tetap. Ritme adalah irama yang disebabkan pertentangan dan pergantian bunyi tinggi rendah secara teratur, tetapi tidak merupakan suku kata yang tetap. Melainkan hanya menjadi gema dendang sukma penyair (Pradopo, 2005:40).

Menurut Halim (1984: 56-57) unsur-unsur irama meliputi tinggi nada, rentang waktu, dan intensitas. Intensitas adalah yang paling sedikit dipengaruhi oleh tekanan. Tinggi nada secara konsisten mencirikan tekanan kata dan bahwa terdapat kenaikan tinggi nada yang defenitif yang berhubungan dengan tekanan dalam semua kasus. Secara garis besar, kenaikan rentang waktu dipengaruhi oleh tekanan. Sehingga disimpulkan bahwa intensitas bukanlah suatu ciri tekanan kata yang menentukan, karena terbukti bahwa intensitas juga dapat muncul dalam sebuah suku kata kedua terakhir atau suku terakhir, yaitu suku-suku kata tempat tekanan kata muncul secara istimewa, dan terdapat suatu kenaikan kecil intensitas dalam hubungannya dengan tekanan.

Membaca lebih lengkap, kunjungi Daftar Isi Skripsi

Artikel Terkait (Skripsi)

Formula Bunyi (Asonansi dan Aliterasi)

Menurut Preminger dkk (Badrun, 2003:29-30) Aliterasi adalah perulangan bunyi-bunyi atau suku kata yang sama dalam dua kata atau lebih dalam satu atau beberapa larik yang menghasilkan efek-efek artistik yang nyata. Aliterasi dapat terjadi baik secara disengaja maupun tidak disengaja. Aliterasi dapat menghasilkan tekanan dan bunyi indah yang sama dengan efek tekanan dari rima akhir. Jenis aliterasi yan paling umum adalah bunyi awal (yang umum disebut adalah rima awal/rima kepala), terutama rima dari konsonan atau kelompok konsonan. Akan tetapi aliterasi bisa saja dihasilkan dari efek pengulangan konsonan, vokal atau gabungan konsonan vokal, baik berada di tengah maupun akhir. Menurut Attenbernd dan Leslie L. Lewis, aliterasi adalah perulangan bunyi konsonan dalam kata.

Pendapat di atas menegaskan bahwa aliterasi bukan saja mencakup persamaan bunyi pada awal kata, melainkan juga pada posisi tengah atau akhir kata, bahkan dapat berkombinasi dengan vokal Badrun (2003:30).

Efek yang ditimbulkan oleh aliterasi berbeda dengan efek yang ditimbulkan oleh asonansi (persamaan bunyi vokal). Secara umum, efek asonansi lebih halus dari aliterasi. Akan tetapi, sulit dibedakan antara efek yang ditimbulkan asonansi dan aliterasi pada kata-kata yang digunakan pencipta (ada kata yang merdu dan tidak merdu). Dengan kata lain hal itu ditentukan oleh jenis konsonan dan vokal yang membentuk kata. Menurut Slamet Muljana (Badrun, 2003:30-31), penyair dan sajaknya banyak menggunakan bunyi yang berkaitan dengan lambang rasa, lambang rasa berhubungan dengan suasana hati. Vokal e dan i terasa ringan, tinggi dan kecil dapat melukiskan suasana hati yang ringan dan riang. Bunyi k, p, t, s, f lebih ringan daripada konsonan b, d, g, z, v, w yang berat. Bunyi Vokal a, o, dan u terasa berat dan rendah. Bunyi-bunyi yang berat cocok untuk melukiskan perasaan sedih, gundah, dan murung (Badrun, 2003:30-31).

Menurut Luxemburg dkk (1984:196) aliterasi berfungsi mendekatkan kata-kata lepas dari hubungan semantik biasa. Selain itu aliterasi menekankan struktur ritmik sebuah larik dan memberi tekanan tambahan kepada kata-kata yang bersangkutan. Sedangkan asonansi sering dipergunakan dalam simbolik bunyi.

Membaca lebih lengkap, kunjungi Daftar Isi Skripsi

Artikel Terkait (Skripsi)

Formula Bunyi (Rima)

Rima dapat didefenisikan sebagai kemiripan bunyi antara suku-suku kata. Altendernd dan Leslie L. Lewis (Badrun,2003:28-29) menyatakan bahwa rima adalah baris-baris sajak mengandung rima atau mempunyai skema rima suku kata terakhir dari kata-kata yang menduduki posisi akhir memiliki bunyi yang sama. Maksudnya, dengan akhir kata adalah vokal dari suku kata terakhir yang diberi tekanan dan bunyi-bunyi lain yang mengikutinya.

Rima yang dikenal adalah rima akhir. Selain rima akhir, sebenarnya masih ada rima lain. Misalnya rima tidak sempurna, rima dalam, aliterasi dan asonansi. Rima tidak sempurna terjadi kalau binyi-bunyi tidak sama tetapi hanya mirip. Rim terjadi kalau persamaan bunyi itu terdapat dalam satu larik Attenbernd dan Leslie L. Lewis (Badrun, 2003:29). Rima dalam muncul bila dua atau lebih rima kata-kata terdapat dalam satu larik Cuddon (Badrun, 2003:29).

Membaca lebih lengkap, kunjungi Daftar Isi Skripsi

Artikel Terkait (Skripsi)

Formula Sintaksis

Menurut Verhaar (Sudaryanto, 1994:13) tataran di dalam sintaksis adalah fungsi, kategori, dan peran. Fungsi atau fungsi-fungsi sintaksis adalah tataran yang pertama, tertinggi, dan yang paling abstrak, yakni seperti subjek, predikat, objek, dan lain sebagainya. Fungsi sifatnya relasional. Adanya fungsi yang satu tidak dapat dibayangkan tanpa hubungan dengan fungsi yang lain. Kita dapat menyatakan sesuatu fungsi itu P, misalnya, hanya dalam hubungannya antara lain dengan S atau O; demikian pula sebaliknya, kita dapat menyatakan sesuatu fungsi itu O atau S hanya dalam hubungannya dengan P. Dengan kata lain, bila dinyatakan secara negatif, demikian. Kita tidak dapat menyatakan sesuatu fungsi itu P tanpa dihubungkan antara lain dengan S atau O, dan tidak dapat menyatakan sesuatu fungsi itu O atau S tanpa hubungannya dengan P. Hubungan antar fungsi itu bersifat struktural. Dengan demikian fungsi-fungsi itu semata-mata organisasi kalimat formal yang linear.

Kategori atau kategori-kategori adalah tataran yang kedua dengan tingkat keabstrakan yang lebih rendah daripada fungsi, yakni seperti nomina atau kata benda, verba atau kata kerja, preposisi, konjungsi, ajektiva, kata bilangan atau sebagainya.

Peran atau peran-peran adalah tataran yang ketiga atau yang terendah tingkat keabstraksannya jika dibandingkan dengan kedua lainnya itu, yakni seperti agentif, objektif, benefaktif, instrumental, aktif, pasif, efentif, dan sebagainya (yang secara umum disebut pelaku, penderita, penerima, alat, tindakan, tanggapan atau pengalaman, pasif-keadaan dan sebagainya). Seperti halnya dalam fungsi, peran bersifat relasional dan struktural.

Istilah kalimat dalam puisi lisan berbeda dalam kalimat dalam puisi tertulis, keduanya mempunyai kontruksi yang berbeda. Perbedaan itu dilatari oleh cara berpikir dan cara berekspresi masyarakat pemakainya. Salah satu ciri puisi lisan menurut Brown dan George Yule (Badrun, 2003:25) adalah sintaksisnya yang kurang terstruktur. jika dibandingkan dengan bahasa tulis yaitu (1) kalimat bahasa lisan banyak yang tidak lengkap, sering hanya merupakan rangkaian frase, (2) bahasa lisan secara khas tidak banyak berisi subordinasi, dan (3) dalam wicara biasanya digunakan bentuk-bentuk deklaratif aktif.

Menurut W.P Ker (Badrun, 2003:24) Kalimat-kalimat itu ada yang berfungsi sebagai pernyataan inti dan ada pula yang berfungsi sebagai pernyataan penjelas. Urutan kalimat-kalimat dalam puisi lisan disusun dengan pola tertentu, ada yang dimulai dengan pertanyaan atau permintaan yang kemudian diikuti pernyataan, penjelas atau penjelasan. Pola-pola kalimat tersebut bergantung pada isi yang disajikan.

Membaca lebih lengkap, kunjungi Daftar Isi Skripsi

Artikel Terkait (Skripsi)

Monday, November 28, 2011

Formula-formulaik

Lord memberikan batasan pada istilah formula. Menurut Lord formula adalah kelompok kata yang digunakan secara teratur dimanfaatkan dengan irama yang sama untuk mengungkapkan suatu ide tertentu secara hakiki. (Teeuw, 1994:3). Formula (frasa, klausa, atau larik) dalam puisi dihasilkan dengan dua cara, yaitu dengan mengingat frasa itu dan dengan menciptakan melalui analogi frasa-frasa lain yang pernah ada Lord (Badrun, 2003:26). Sementara itu formulaik yaitu larik atau separuh larik yang disusun atas dasar pola formula Teew (1994:3).

Pengertian formula dalam konsep Parry menekankan pada aspek irama. Dalam realisasinya frasa-frasa yang berulang bukan saja berguna untuk pendengar, melainkan juga berguna bagi pencerita. Frasa-frasa yang diulang dalam puisi dihasilkan dengan dua cara. Pertama, dengan mengingat frasa itu. Kedua, dengan menciptakan melalui analogi frasa-frasa telah ada Lord (Badrun, 2003:26).

Membaca lebih lengkap, kunjungi Daftar Isi Skripsi

Artikel Terkait (Skripsi)

Struktur Teks

Struktur adalah sistem transformasi yang mengandung kaidah sebagai sistem (sebagai lawan dari sifat-sifat unsur) dan yang melindungi diri atau yang memperkaya diri melalui peran transformasi-transformasinya itu, tanpa keluar dari batas-batasnya atau yang menyebabkan masuknya unsur-unsur luar. Sebuah struktur mencakup tiga sifat, yakni totalitas, transformasi, dan pengaturan diri Plaget (Badrun, 2003:22).

Menurut Badrun (2003:22) Struktur teks adalah hubungan antara unsur-unsur yang membentuk teks sebagai satu kesatuan. Artinya, teks puisi lisan dianggap sebagai tatanan atau bangun yang mempunyai unsur-unsur yang berkaitan satu sama lain. Kalau salah satu unsur dipisahkan dari teks yang lain, maka teks menjadi tidak utuh. Analisis struktur ini meliputi formula sintaksis, formula bunyi, formula irama, majas, dan tema.

Membaca lebih lengkap, kunjungi Daftar Isi Skripsi

Artikel Terkait (Skripsi)

Umpasa Sebagai Sastra Lisan (bag 2)

Sastra lisan merupakan bagian dari folklor seperti yang telah dijelaskan sebelumnya (pada artikel: Umpasa Sebagai Sastra Lisan bag 1). Istilah ini di dalam bahasa Indonesia merupakan terjemahan dari bahasa ingris oral literature. Ada juga yang menyatakan istilah ini berasal dari belanda oralle letterkunde. Terlepas dari asal kata tersebut, yang dinamakan dengan sastra lisan sebenarnya adalah kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturun temurunkan secara lisan (dari mulut ke mulut).

Istilah sastra lisan terkadang disenadakan dengan tradisi lisan. Adapun konsep tradisi hampir sama pengertiannya dengan folklor. Tradisi lisan sendiri berarti “those tradition which have been transmitted in time and space by the word and act”, yang artinya kurang lebih tradisi yang di transmisikan dalam waktu dan ruang dengan ujaran dan tindakan. Folklor berarti sebgian kebudayaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara macam kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak isyarat atau alat pembantu mengingat (mnemonic deviace) Danandjaja (2002:2). Perbedaan keduanya terletak pada unsur-unsur yang ditransmisi secara lisan yang kadang-kadang diikuti dengan tindakan Hutomo (1991:1).

Tradisi lisan menurut keputusan atau rumusan UNESCO mencakup beberapa hal (Hutomo, 1991:11), yakni:
  • yang berupa kesusasteraan lisan;
  • yang berupa teknologi tradisional;
  • yang berupa pengetahuan folk diluar pusat-pusat istana dan kota metropolitan;
  • yang berupa unsur-unsur religi dan kepercayaan folk diluar batas normal agama-agama besar;
  • yang berupa kesenian folk di luar pusat-pusat istana dan kota metropolitan; dan
  • yang berupa hukum adat.
Sastra rakyat itu milik komunal, milik bersama rakyat bersahaja, maka sastra ini juga disebut orang sebagai folk literature, atau sastra rakyat. Hal ini bukanlah berarti bahwa sastra tersebut tidak terdapat di dalam masyarakat kota yang telah maju. Adapun ciri-ciri sastra lisan menurut Hutomo (1991:3-4) yakni:
  • penyebarannya melalui mulut, maksudnya, ekspresi budaya yang disebarkan, baik dari segi waktu maupun ruang melalui mulut;
  • lahir di dalam masyarakat yang masih bercorak desa, masyarakat di luar kota, atau masyarakatyang belum mengenal huruf;
  • menggambarkan ciri-ciri budaya sesuatu masyarakat, sebab sastra lisan itu merupakan warisan budaya yang menggambarkan masa lampau, tetapi menyebut pula hal-hal baru (sesuai dengan perubahan sosial). Oleh karena itulah, sastra lisan disebut juga sebagai fosil hidup;
  • tidak diketahui siapa pengarangnya, dan karena itu menjadi milik masyarakat;
  • bercorak puitis, teratur dan berulang-ulang, maksudnya untuk menguatkan ingatan dan menjaga keaslian sastra lisan supaya tidak cepat berubah;
  • tidak mementingkan fakta dan kebenaran, lebih menekankan pada aspek khayalan/fantasi yang tidak diterima oleh masyarakat modern, tetapi sastra lisan itu mempunyai fungsi penting di dalam masyarakatnya;
  • bahasa: menggunakan gaya bahasa lisan (sehari-hari), mengandung dialek, kadang-kadang diucapkan tidak lengkap.
Fungsi sastra lisan sendiri, masih menurut Hutomo (1991:67-74) adalah sebagai berikut:
  • sebagai sistim proyeksi;
  • pengesahan kebudayaan;
  • sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial, dan sebagai alat pengendalian sosial;
  • sebagai alat pendidikan anak;
  • untuk memberikan suatu jalan yang dibenarkan oleh masyarakat agar dia dapat lebih superior daripada orang lain;
  • untuk memberikan seseorang jalan yang diberikan oleh masyarakat agar dia dapat mencela orang lain;
  • sebagai alat untuk memprotes ketidakadilan dalam masyarakat;
  • untuk melarikan diri dari himpitan hidup, atau dengan kata lain berfungsi sebagai hiburan semata.
Sesuai penjelasan mengenai folklor dan sastra lisan di atas maka semakin jelaslah jika umpasa merupakan tradisi yang berkembang secara lisan, umpasa digolongkan kedalam salah satu bentuk tradisi lisan yang berbentuk puisi rakyat yang termasuk dalam kelompok folklor lisan hal ini dikarenakan bentuknya murni lisan. Hal tersebut sesuai dengan penggolangan bentuk folklor menurut Jon Harold Brundvard (Danandjaja 2002:21-23).

Karena umpasa termasuk puisi yang memiliki bentuk, maka dalam penelitian ini Struktur sastra lisan yang dibahas meliputi bentuk, formula, tema, bunyi, diksi dan gaya bahasa. Unsur-unsur tersebut adalah unsur yang selalu ada dalam teks sastra lisan (Badrun, 2003:23).

Membaca lebih lengkap, kunjungi Daftar Isi Skripsi

Artikel Terkait (Skripsi)

Umpasa Sebagai Sastra Lisan (bag 1)

Folklor adalah sebagian kebudaaan suatu kolektif yang tersebar dan diwariskan turun temurun, diantara kolektif macam apa saja secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device) Istilah folklor merupakan pengIndonesiaan dari bahasa Inggris folklore. Kata tersebut merupakan kata majemuk yang berasal dari dua kata yaitu kata folk dan lore (Danandjaja 2002:2). Sedangkan sastra lisan adalah kesusastraan yang mencakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan Hutomo (1991:1). Jadi sastra lisan ini memiliki cakupan yang lebih spesifik. Sastra lisan merupakan bagian dari folklor.

Dundes (Danandjaja 2002:1-2) menyebutkan bahwa folk adalah sekelompok orang-orang yang memiliki ciri-ciri mengenal fisik, sosial, dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Ciri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud: warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian yang sama, bahasa yang sama, taraf pendidikan yang sama, dan agama yang sama. Namun yang lebih penting lagi bahwa mereka telah memiliki satu tradisi, yakni kebudayaan yang telah mereka warisi turun-temurun sedikitnya dua generasi yang dapat mereka akui sebagai milik bersama. Di samping itu, yang paling penting adalah mereka sadar akan identitas kelompok mereka sendiri. Sementara itu, yang dimaksud lore adalah tradisi folk yaitu sebagian kebudayaan yang diwariskan turun-temurun secara lisan melalui suatu contoh yang disertai dengan isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic diviace).

Ciri-ciri folklor dijelaskan Danandjaja (2002: 3-4), yaitu sebagai berikut: Pertama, penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu contoh yang disertai dengan isyarat, dan alat pembantu pengingat) dari suatu generasi ke generasi berikutnya; kedua, folklor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk tetap atau dalam bentuk standar, disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi); ketiga, folklor ada (exist) dalam versi-versi atau bahkan varian-varian yang berbeda. Hal ini diakibatkan oleh cara penyebarannya dari mulut ke mulut (lisan), biasanya bukan melalui cetakan atau rekaman, sehingga oleh proses lupa diri manusia atau proses interpolasi. Folklor dengan mudah dapat mengalami perubahan. Walaupun demikian perbedaannya hanya terletak pada bagian luarnya, sedangkan bentuk dasarnya dapat tetap bertahan; keempat, folklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui lagi; kelima, folklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola; keenam, folklor mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif. Cerita rakyat misalnya mempunyai kegunaan sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam; ketujuh, folklor bersifat prologis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Ciri pengenal itu terutama berlaku bagi folklor lisan dan sebagian lisan; kedelapan, folklor menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu. Hal ini sudah tentu diakibatkan karena penciptaan yang pertama sudah dapat diketahui lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya; kesembilan, folklor pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga sering kali kelihatannya kasar, terlalu spontan.

Jadi folklor itu disebarkan secara lisan, dari suatu generasi ke generasi, yang kadang-kadang penuturnya disertai dengan perbuatan (misalnya mengajar tari, mengajar membatik, mengajar mendalang dan sebagainya). Adapun bentuk folklor menurut Jon Brundvard (Danandjaja 2002:21-23), dapat digolongkan kedalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya yaitu: pertama, folklor lisan (verbal folklore), folklor lisan adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan. Di dalam hubungannya dengan folklor lisan, maka bahan-bahan folklor lisan mencakup:
  • bahasa rakyat (folk speech) seperti logat, julukan, pangkat tradisional, dan titel kebangsawanan;
  • ungkapan tradisional seperti peribahasa, pepatah dan pameo;
  • pertanyaan tradisional, seperti teka-teki;
  • puisi rakyat seperti pantun, gurindam, dan syair;
  • cerita prosa rakyat seperti mite, legenda, dan dongeng;
  • nyanyian rakyat.
Yang kedua folklor sebagian lisan (partly verba folklore), folklor sebagian lisan ini adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan bukan lisan. Yang termasuk folklor sebagian lisan adalah bahan-bahan folklor yang berupa:
  • kepercayaan rakyat;
  • permainan rakyat dan hiburan rakyat (semacam gobak sodor, Sunda mandah dan lain-lain);
  • teater rakyat;
  • tari rakyat;
  • upacara-upacara (kematian, perkawinan);
  • adat istiadat (gotong royong, batas umur pengkhitanan anak, dan lain-lain);
  • pesta-pesta rakyat (skaten, ruwatan, dan lain-lain).
Yang ketiga folklor bukan lisan (non verbal folklore), folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan. Yaitu meliputi:
  • berupa material: arsitektur rakyat (bentuk rumah asli daerah, bentuk lumbung padi, dan sebagainya), kerajinan tangan rakyat, pakaian dan perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman rakyat, obat-obatan rakyat;
  • yang berupa bukan material: gerak isyarat tradisional (gesture), bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat (kentongan tanda bahaya di Jawa, atau gendang untuk mengirim berita seperti dilakukan di Afrika), musik rakyat (gamelan Sunda, Jawa, Bali).
Fungsi folklor menurut Bascom (Danandjaja, 2002:19) adalah sebagai berikut:
  • sebagai sistim proyeksi (projective System) yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif;
  • sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan;
  • sebagai alat pendidikan anak (predagogical device);
  • sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya.
Membaca lebih lengkap, kunjungi Daftar Isi Skripsi

Artikel Terkait (Skripsi)

Saturday, November 26, 2011

Puisi Kenang Kenangan

Kenang Kenangan

ketika dunia mengingatkan kenangan
pohon yang bergoyang di taman
kerikil yang setia di jalanan
akan mengembalikan ingatan

yah....
kita begitu mesra dimasa lalu
kita tanamkan kisah di setiap jejak
yang kita yakini berbuah kebersamaan

apa yang kita tanamkan di masa silam
kini hanya berbuah kerinduan
yang entah pada siapa
akhirnya kita tanamkan kesetiaan Ferdinaen Saragih (2011: Bandung).

Puisi Lainnya

Defenisi Operasional

Agar lebih jelas, maka perlu dikemukakan beberapa istilah-istilah yang peneliti pergunakan, sebagai berikut.
  1. Umpasa pernikahan Simalungun adalah puisi rakyat yang berisi doa restu, yang jumlah lariknya selalu genap, yaitu antara empat larik sampai dua belas larik dalam satu bait, yang dituturkan saat upacara adat pernikahan di masyarakat Simalungun.
  2. Stuktur adalah komposisi teks puisi lisan sebagai tatanan sebuah bangunan yang mempunyai unsur-unsur yang saling berkaitan. Struktur ini meliputi formula sintaksis, formula bunyi, formula irama, majas, dan isotopi.
  3. Konteks penuturan adalah sebuah peristiwa komunikasi secara khusus, yang ditandai dengan adanya interaksi di antara unsur-unsur pendukungnya secara khusus.
  4. Proses penciptaan adalah sebuah proses kreatif dalam menciptakan Umpasa tersebut oleh masyarakat, baik secara terstruktur maupun spontan.
  5. Fungsi adalah manfaat suatu umpasa bagi masyarakat pendukungnya.
Artikel Terkait (Skripsi)

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk semua pihak yang bersangkutan dalam penelitian ini, baik manfaat secara praktis maupun secara teoretis.

Manfaat Praktis
Beberapa manfaat secara praktis dari penelitian ini, yaitu sebagai berikut.
  1. Bagi peneliti, penelitian ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai sastra lisan, serta untuk memperoleh pengalaman menganalisis Struktur puisi lisan, konteks penuturan, proses penciptaan dan fungsi umpasa pernikahan Simalungun.
  2. Bagi pembaca, penelitian ini dapat memberikan informasi secara tertulis maupun sebagai referensi mengenai sastra lisan yang ada di Batak Simalungun tepatnya mengenai umpasa pernikahan Simalungun.
Manfaat Teoretis
Beberapa manfaat secara teoretis dari penelitian ini, yaitu sebagai berikut.
  1. Bagi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi study/kajian sastra lisan.
  2. Bagi kajian kesusastraan, manfaat penelitian ini yaitu memberikan sumbangsih maupun rujukan referensi bagi para peneliti sastra lisan, khususnya umpasa Simalungun.
Artikel Terkait (Skripsi)

Tujuan Penelitian

Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai melalui penelitian ini. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang komprehensif mengenai umpasa pernikahan Simalungun yang menjadi bagian dari upacara adat pernikahan masyarakat Batak Simalungun.

Tujuan khusus dari penelitian ini untuk memperoleh deskripsi hal-hal berikut:
  1. memaparkan stuktur teks umpasa pernikahan Simalungun;
  2. memaparkan konteks penuturan umpasa pernikahan Simalungun;
  3. memaparkan proses penciptaan teks umpasa pernikahan Simalungun;
  4. memaparkan fungsi umpasa pernikahan Simalungun.
Artikel Terkait (Skripsi)

Perumusan Masalah

Agar masalah yang diteliti lebih jelas, maka berikut ini peneliti kemukakan beberapa hal sebagai rumusan masalah, yakni sebagai berikut.
  1. Bagaimana struktur teks umpasa pernikahan Simalungun?
  2. Bagaimana konteks penuturan umpasa pernikahan Simalungun?
  3. Bagaimana proses penciptaan umpasa pernikahan Simalungun ?
  4. Apa fungsi umpasa pernikahan Simalungun?
Artikel Terkait (Skripsi)

Pembatasan Masalah

Batasan masalah dalam penelitian ini yaitu penelaahan struktur, konteks penuturan, proses penciptaan dan fungsi dalam umpasa pernikahan Simalungun, yaitu umpasa pernikahan yang terdiri atas empat baris.

Artikel Terkait (Skripsi)

Latar Belakang Masalah (Pendahuluan )

Latar Belakang Masalah. Sastra lisan sebagai sastra tradisional telah lama ada, yaitu sebelum masyarakat tersebut mengenal keberaksaraan. Setiap bentuk sastra lisan, baik cerita maupun puisi tidak dapat terlepas dari nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Nilai-nilai tersebut mencerminkan pola hidup masyarakat tempat sastra lisan itu pernah hidup dan berkembang.

Sastra lisan adalah kesusastraan yang menyangkut ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan (dari mulut ke mulut). Di dalam masyarakat tradisional peranan sastra lisan itu lebih besar daripada peranan sastra tulis; sebaliknya di dalam masyarakat modern peranan sastra tulis itu lebih besar daripada sastra lisan. Sastra lisan di dalam masyarakat tradisional itu bersifat komunal. Artinya, milik bersama. Sebaliknya, sastra tulis modern di dalam masyarakat modern itu bersifat individual. Artinya, sastra tulis modern tersebut bisa dinikmati perorangan di dalam kamar atau di tempat-tempat sunyi lainnya (Hutomo, 1991:3)

Salah satu karya sastra lisan itu adalah umpasa, umpasa lahir dan berkembang di masyarakat Simalungun. Bermacam-macam bentuk kesusastraan di Simalungun, telah lama ada. Usia kesusastraan itu hampir sama tuanya dengan kehidupan masyarakat Simalungun itu sendiri, yang tersebar dari mulut ke mulut sejak zaman nenek moyang terdahulu. Sastra lisan Simalungun adalah sastra yang lahir, hidup, dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Simalungun itu sendiri.

Dalam sastra lisan Simalungun ditemukan tingkatan bahasa, yaitu penggunaan bahasa yang berbeda menurut tingkatan orang lawan bicara, bahasa ratap tangis, bahasa para datu “dukun” bahasa simbol, bahasa biasa dan bahasa upacara. Tingkatan tersebut mewarnai puisi rakyat Simalungun yang tergambar dalam umpasa, umpama, tudosan, usihan, limbaga, alinan, dan ongonan (Damanik, U.H. dk.1986:24).

Jika disebut umpasa, mungkin banyak di antara kita bertanya-tanya “apa itu umpasa?” jika pertanyaan itu ditujukan kepada kalangan mahasiswa, peneliti pikir sama saja. Kebanyakan di antara kita belum mengetahui tentang apa itu umpasa. Umpasa adalah puisi rakyat yang dipergunakan dalam masyarakat Simalungun dalam pelbagai kegiatan kebudayaan, seperti pernikahan, kematian, dan acara adat lainnya.

Jika dibandingkan dengan karya sastra yang pernah kita kenal, umpasa ini hampir sama dengan Pantun Melayu, perbedaannya terdapat pada bahasa, penggunaan simbol-simbol yang sering digunakan pada umpasa dan jumlah baris dalam satu bait. Misalnya pantun memiliki ciri-ciri harus empat baris dalam satu bait, sedangkan umpasa bisa terdiri atas dua, empat, enam, delapan, sepuluh hingga enambelas baris dalam satu bait.

Umpasa sebenarnya tidak hanya ada di Batak Simalungun, tapi ada juga di daerah Batak Toba, namun dalam penelitian ini, peneliti memaparkan umpasa dari Batak Simalungun. Hal ini disebabkan keterbatasan penguasaan bahasa peneliti. Peneliti merumuskan perbedaan umpasa Batak Simalungun dengan umpasa Batak Toba yaitu perbedaan bahasa dan simbol-simbol alam yang digunakan pada sampiran sebuah umpasa. Hal ini disebabkan kondisi alam atau lingkungan yang berbeda.

Menurut Sinaga (2007:57) umpasa adalah bahasa berpantun. Bila terdiri atas dua baris, maka baris pertama sebagai sampiran dan baris kedua sebagai isi. Bila terdiri atas empat baris, maka baris pertama dan kedua sebagai sampiran dan baris ketiga dan keempat sebagai isi. Bila terdiri atas enam baris, maka baris pertama hingga baris ketiga sebagai sampiran, dan baris keempat hingga baris keenam sebagai isi. Bila terdiri atas delapan baris, baris pertama hingga baris keempat sebagai sampiran, dan baris kelima hingga kedelapan sebagai isi, begitu halnya jika terdiri atas sepuluh atau dua belas baris.

Penelitian tentang umpasa sudah pernah dilakukan oleh Henry Guntur Tarigan (1980) dalam bukunya yang berjudul "Perbandingan Umpasa Simalungun dengan Pantun Melayu", dalam proyek penerbitan buku Sastra Indonesia dan Daerah. Dalam penelitiannya Henry Guntur Tarigan belum menganalisis lebih jauh, hanya sebatas membandingkan umpasa dengan pantun dari segi stuktur, seperti jumlah baris, dan persajakan pada umpasa.

Selain itu masih ada lagi penelitian terdahulu tentang umpasa, misalnya Urich H Damanik, dkk (1986) dalam bukunya "Sastra Lisan Simalungun". jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Henry Guntur Tarigan, penelitian ini lebih luas, misalnya sudah mulai menganalisis intonasi dan fungsi umpasa Simalungun.

Dengan memperhatikan hal di atas, timbul ketertarikan peneliti untuk mengetahui secara mendalam dan lebih jauh mengenai umpasa Simalungun (khususnya umpasa pernikahan) sebagai salah satu genre sastra lisan. Arah penelitian meliputi analisis struktur, konteks penuturan, proses penciptaan dan fungsi umpasa Simalungun. Dalam pembatasan masalah, yang diteliti adalah umpasa pernikahan Simalungun. Hal ini disebabkan begitu beragamnya umpasa Simalungun. Sementara itu umpasa yang paling sering dituturkan adalah umpasa pernikahan.

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada objek penelitian. Dalam Struktur peneliti menganalisis formula sintaksis, majas dan isotopi. kemudian dilanjutkan dengan analisis konteks penuturan, proses penciptaan dan fungsi yang belum ada pada penelitian sebelumnya.

Artikel Terkait (Skripsi)

Friday, November 25, 2011

Daftar Isi

Halaman ini berisi daftar isi skripsi yang berjudul “Umpasa Pernikahan Simalungun: Struktur, Konteks Penuturan, Proses Penciptaan Dan Fungsi” yang sudah dibagi kedalam beberapa postingan. Selamat membaca, semoga bermanfaat.

Daftar Isi Skripsi
Pendahuluan
Landasan Teori
Metode Penelitian

Analisis Umpasa Pernikahan
Simpulan dan Saran
Lampiran

Daftar Pustaka

DAFTAR PUSTAKA

Badrun, Ahmad. 2003. “Patu Mbojo: Stuktur, Konteks Pertunjukan, Proses Penciptaan, dan Fungsi”. Disertasi Pada Program Pascasarjana FIB Universitas Indonesia.

Damanik, Urich H. dkk. 1986. Sastra Lisan Simalungun. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Damayanti, Vismaya S dan Sitaresmi, Nunung. 2005. Sintaksis Bahasa Indonesia. Bandung: Pusat Studi Literasi.

Danandjaja, James. 1991. Tentang Sastra. Terj Achadiati Ikram. Jakarta: Intermasa.

Danandjaja, James. 2002. Folklore Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng dan lain-lain. Jakarta: Grafiti Pers.

Departemen Pendidikan dan kubudayaan/Pusat Bahasa. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi ke-3). Jakarta: Balai Pustaka.

Durachman, Memen. 1996. “Khotbah di Atas Bukit, Novel Gagasan Karya Kuntowijoyo”. Tesis PPS UI.

Endraswara, Suwardi. 2009. Metode Penelitian Folklor: Konsep, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Medpress.

Halim, Amran. 1984. Intonasi dalam Hubungannya dengan Struktur Bahasa Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara yang Terlupakan: Pengantar Studi Sastra Lisan. Surabaya: HISKI Jawa Timur.

Keraf, Gorys. 1996. Diksi dan Gaya Bahasa. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta.

Kridalaksana, H. (2001). Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Lord, Albert B. 1965. The Singer of Tales. New York : Atheneum.

Luxemburg, Jan Van. dkk. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. Terj Dick Hartoko. Jakarta: PT Gramedia.

Napitupulu, Paimin dan Hutauruk Edison. 2008. Pedoman Praktis Upacara Adat Batak. Jakarta: Papas Sinar Sinanti.

Nazir, Mohammad. 1999. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Pradopo, Rahmat Djoko. 2005. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Pudentia, MPSS. 1998. Metode Kajian Tradisi Lisan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan.

Rahmanto dan Purwo, Kaswanti. 1999. Sastra Lisan: Pemahaman dan Interpretasi (Pilihan Karangan dalam Basis 1987-1995). Jakarta: Mega Media Abadi.

Ramlan, M. (2001). Ilmu Bahasa Indonesia: Sintaksis. Yogyakarta: CV Karyono.

Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Penelitian Sastra: Teori, Metode dan Teknik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Saragih, Sortaman. 2008. Orang Simalungun. Depok: Citama Vigora.

Sinaga, Richard. 2007. Perkawinan Dalihan na Tolu. Jakarta: Dian Utama dan KERABAT (Kerukunan Masyarakat Batak).

Sudaryanto. 1994. Predikat-Objek dalam Bahasa Indonesia: Keselarasan Pola Urutan. Yogyakarta: Djambatan.

Sulissusiawan, Ahadi. dkk. 1993. Sastra Lisan Sambas: Teks, Struktur dan Lingkungan Penceritaan. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sumbayak, Japiten. 2001. Refleksi Habonaron do Bona dalam Adat Budaya Simalungun. Pematang Raya: Japiten Sumbayak.

Sunarti. 2006. “Sintren Brebes Kecamatan Banjarhorjo: Stuktur Lagu, Konteks Pertunjukan, Proses Penciptaan dan Fungsi”. Skripsi Pada Program Sarjana FPBS Universitas Pendidikan Indonesia.

Surakhmad, Winarno. 1998. Pengentar Penelitian Ilmiah: Dasar Metode teknik. Bandung: Tarsitol.

Sutari K. Y., Ice dkk. 2006. Laporan Penelitrian: Cerita Si Kabayan: Transformasi, Proses Penciptaan, Makna dan Fungsi. Bandung: Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI.

Tarigan, Hendry Guntur. 1980. Perbandingan Umpasa Simalungun dengan Pantun Melayu. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.

Teeuw, A. 1994. Indonesia antara Kelisanan dan Keberaksaraan. Jakarta: Pustaka Jaya.

Zaimar, Okke K. S. 1990. Menelusuri Makna Ziarah Karya Iwan Simatupang. Jakarta: ILDEP.

Artikel Terkait (Skripsi)

Thursday, November 24, 2011

Puisi Jejak Bulan

Jejak Bulan

aku telah kehilangan jejak bulan
keasikan menyusuri rimba di harum tubuhmu
kaupun tak mengingatkanku untuk lekas pulang
menyulam reruntuhan malam
yang berulang kali kita porak-porandakan
apakah kau tak inginkan aku pulang?
meninggalkan kegelapan malam
yang selalu kita ciptakan di sini
ah, kenapa kau tak mengingatkanku,
akankah selamanya samar?
sedangkan bulanku mampu menerangiku
celaka, jika kupaksa bergegas selepas ini
setibaku sudah pasti pagi, bulankupun tak ada lagi Ferdinaen Saragih (2009: Bandung).

Puisi Lainnya

Lirik Lagu Owl City - Fireflies

Lirik Lagu Owl City - Fireflies

You would not believe your eyes
If ten million fireflies
Lit up the world as I fell asleep
Cuz they fill the open air
And leave teardrops everywhere
You think me rude, but I would just stand and stare

I’d like to make myself believe
That planet earth turns slowly
It’s hard to say that I’d rather stay awake when I’m asleep
Cuz everything is never as it seems

Cuz I get a thousand hugs
From ten thousand lightning bugs
As they try to teach me how to dance
A foxtrot above my head
A sockhop beneath my bed
The disco ball is just hanging by a thread (thread, thread)

I’d like to make myself believe
That planet earth turns slowly
It’s hard to say that I’d rather stay awake when I’m asleep
Cuz everything is never as it seems (when I fall asleep)

Leave my door open just a crack
(Please take me away from here)
Cuz I feel like such an insomniac
(Please take me away from here)
Why do I tire of counting sheep?
(Please take me away from here)
When I’m far to tired to fall asleep

To ten million fireflies
I’m weird cuz I hate goodbyes
I got misty eyes as they said farewell (said farewell)
But I know where several are
If my dreams get real bizarre
Cuz I saved a few and I keep ‘em in a jar

I’d like to make myself believe
That planet earth turns slowly
It’s hard to say that I’d rather stay awake when I’m asleep
Cuz everything is never as it seems (when I fall asleep)

I’d like to make myself believe
That planet earth turns slowly
It’s hard to say that I’d rather stay awake when I’m asleep
Cuz everything is never as it seems (when I fall asleep)

I’d like to make myself believe
That planet earth turns slowly
It’s hard to say that I’d rather stay awake when I’m asleep
Because my dreams are bursting at the seams

Lirik Lagu Pilihan Lainnya

Puisi Keasyikan

Keasyikan

bersama malam ini
kembali kutelusuri
setiap ranting di lekuk tubuhmu
hanya saja belum seluruhnya kupahami

rindu ini sudah sekarat manisku
jarak telah menjelma bayang
yang setia mempermainkanku
dan akupun keasyikan
jika kulakukan sekuat hayalanku

kuharap di musim lusa
dimana kita dipertemukan waktu
ijinkanlah disetiap baris sajakku
menjelma nyata di bumi Ferdinaen Saragih (2010: Januari).

Puisi Lainnya

Abstrak

UMPASA PERNIKAHAN SIMALUNGUN: STRUKTUR, KONTEKS PENUTURAN, PROSES PENCIPTAAN DAN FUNGSI

Ferdinan De Jecson Saragih
0707900
Universitas Pendidikan Indonesia

Pembimbing 1 :Drs. Memen Durachman, M.Hum.
2 :Drs. Encep Kusumah, M.Pd.


ABSTRAK
Penelitian ini berjudul “Umpasa Pernikahan Simalungun: Struktur, Konteks Penuturan, Proses Penciptaan dan Fungsi”. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh keinginan peneliti untuk meneruskan penelitian sebelumnya dengan mengangkat pokok permasalahan: 1) struktur umpasa pernikahan Simalungun, 2) konteks penuturan umpasa pernikahan Simalungun, 3) proses penciptaan dan 4) fungsi umpasa pernikahan Simalungun. Berdasarkan pokok permasalahan tersebut, penelitian ini bertujuan untuk 1) memaparkan struktur umpasa pernikahan Simalungun, 2) konteks penuturan umpasa pernikahan Simalungun, 3) proses penciptaan dan 4) fungsi umpasa pernikahan Simalungun yang menekankan pada kelisanan teks. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Jenis metode deskriptif yang disajikan dalam penelitian ini adalah secara kualititif. Penelitian ini lebih menekankan pada data alamiah yang dihubungkan dengan konteks keberadaannya di masyarakat pemiliknya. Tolok ukur permasalahan yang paling utama dalam penelitian ini adalah teori formula yang dikemukakan oleh Lord. Pendekatan ini adalah suatu pendekatan yang lebih menitikberatkan pada kajian Formula (frasa, klausa, atau larik) dalam puisi lisan. Selanjutnya, formula ini diinterpretasikan untuk menemukan ide dalam teks puisi atau cerita. Interpretasi tersebut dipahami sebagai ciri sastra lisan. Penelitian ini difokuskan pada objek kajian umpasa pernikahan Simalungun yang dikaitkan dengan masyarakat pemiliknya. Prosedur analisis yang digunakan adalah sebagai berikut: pertama, menganalisis struktur teks yang terdiri atas formula sintaksis, formula bunyi, formula irama, majas dan isotopi; kedua, menganalisis konteks penuturan yang terdiri atas konteks situasi dan konteks budaya; ketiga, menganalisis proses penciptaan, yaitu menganalisis teks yang dihubungkan dengan konsep formula; keempat, menganalisis fungsi yang difokuskan antara penuturan umpasa serta sastra lisan yang terkandung di dalamnya dengan masyarakat pemiliknya. Dari hasil penelitian umpasa pernikahan Simalungun ini, dapat disimpulkan bahwa umpasa pernikahan Simalungun berisi doa restu kepada mempelai yang sedang menikah. Umpasa Simalungun adalah bagian dari sastra lisan yang memiliki nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Hal inilah yang mencerminkan pola hidup masyarakat Simalungun itu sendiri.

Artikel Terkait (Skripsi)